Ada dua hal berkesan selama 20 jam-an di Surabaya (setelah dari Bromo dan sebelum ke Makassar). Yang pertama berkaitan dengan
budget dan yang kedua dengan tingkat kesetresan.
Jalan-jalan 'Tajir' di SurabayaSampai di penginapan di daerah Kayoon Surabaya (
Sparkling Backpacker Hotel), kami istirahat sebentar dengan menonton tv yang ada di kamar sembari menjemur pakaian yang basah. Menjelang petang, kami keluar untuk mencari makan. Dengan 'keterbatasan dana' yang ada, kami makan di salah satu restoran
fast food di
Plaza Surabaya. Kemudian menyempatkan membeli cemilan dan oleh-oleh untuk teman.
Sembari jalan-jalan malam, Riyan memiliki misi lain. Dia juga mencari benang dan jarum untuk menjahit tasnya yang rawan putus. So, jalan-jalan kami menelusuri tempat yang menjual benang dan jarum. Karena tidak menemukan di toko-toko yang ada di Plaza Surabaya. Kami menuju
Grand City Mall. Beruntung di salah satu hipermarket di mal ini ada. Nah kemudian kami iseng menjelajah mal ini. Ketika melewati XXI, munculah ide untuk menonton. Akhirnya setelah sedikit berunding, kami memutuskan menonton The Thing.
Ada sisi waras dan tidak warasnya sih. Sisi warasnya adalah kami juga manusia yang membutuhkan hiburan dan kesenangan lainnya dengan makan-makanan
fast food dan nonton di bioskop. Sisi tidak warasnya adalah kami bisa alokasikan dana hura-hura kami untuk hal-hal yang lebih penting dan mendesak di kemudian hari. Haha, walau jalan-jalan bawa tas punggung, ya gapapalah bersikap sok tajir. Peace!
Rute jalan-jalan kami, dari Sparkling Backpacker Hotel - Plaza Surabaya - Balaikota Surabaya - Grand City Mall Setengah Mati ke Bandara JuandaKeesokan harinya, munculah pengalaman kedua yang super deg-degan. Kami bangun pagi tapi agak siang, sekitar jam 6-an. Terus buru-buru salat, mandii, dan
packing. Setelah saya selesai melakukan semuanya, saya menengok suasana Surabaya pagi hari dan ternyata HUJAN (lebay banget pake huruf kapital, kan emang Januari musim hujan). Langsung saya lapor ke yang lain dan bergerak cepat. Logika kami adalah kami akan menuju Bandara Juanda dengan menggunakan bus kota ke Terminal Purabaya yang jam kedatangannya tak dapat diperkirakan dilanjutkan dengan Damri Bandara. Jadi, kalo hujan jalanan akan lebih macet. Penerbangan kami adalah pukul 10.40.
Kemudian kami berdiskusi sejenak dengan mas-mas resepsionis mengenai taksi atau kendaraan lain menuju bandara. Katanya taksi tarifnya hingga 120.000, whew. Agak setres, tapi kami tak mau rugi dengan memanfaatkan breakfast yang kami peroleh. Saking setresnya jatah dua orang kami gunakan tiga orang, hehe.
Lanjut ke masalah transportasi. Kami akhirnya memutuskan menggunakan bus kota dan damri. Pukul 7.00 kami sudah menunggu di depan Stasiun Gubeng dengan pakaian yang sebelumnya sudah dikeringkan kini basah lagi. Kami bertanya ke beberapa orang di depan stasiun mengenai bus kota yang langsung ke Terminal Purabaya. Katanya ada, namun sangat jarang. *garisbawahi sangat*.
Pukul 7.30 bus belum muncul. Ada seorang bapak menghampiri kami menanyakan tujuan kami. Dia mengatakan ada kendaraan untuk mengantar dengan biaya 80.000 (kalau tidak salah). Kami masih sabar menunggu, sehingga tawaran tersebut kami tolak.
Pukul 8.00 bus belum muncul. Kami mulai gila ditemani rintikan hujan. Stasiun menjadi ramai. Banyak orang berseliweran. Beberapa menanyakan tujuan kami. Mulai sedikit tertarik dan menghitung
cost and benefit tawaran mereka.
Pukul 08.30 bus belum mu

ncul. Kami ancang-ancang buat plan cadangan. Tapi Ade tetep teguh karena kami sudah menunggu lama, pasti bus sudah semakin mendekat. Dan memang benar, sekitar pukul
08.45 sebuah bus tujuang Terminal Purabaya datang! Syalala, deg-degan "sesi 1" lewat.
Di dalam bus, tak banyak orang, tetapi di jalanan banyak sekali kendaraan dan itu bikin setres "sesi 2". Sepanjang perjalanan menuju terminal cukup banyak lampu merah. Setiap lampu berganti hijau, saking setresnya saya seakan mencoba meniup supaya bus berjalan lebih cepat (gila ini namanya). Akhirnya pukul 09.30 kami tiba di terminal dan langsung menuju pangkalan damri bandara. Kebetulan ada satu yang sudah sebagian terisi penumpang, kami langsung naik saja.
Damri berjalan
pukul 09.45 dan dikatakan bahwa menuju bandara memakan waktu 30 menit,
which is pukul 10.15 dan penerbangan kami pukul 10.40. Ulalala. Di tengah perjalanan, damri ini berhenti dan menunggu penumpang lagi. Huaduh. Dag dig dug "sesi 3". Kemudian setelah belok ke Jalan Ir. H. Djuanda, saya pikir sudah dekat, eh tapi ada beberapa lampu merah yang harus dilalui. Semakin dagdigdug. Daaan kami tiba di depan loket Citilink
pukul 10.15. Hufff!
Elus-elus penerbangan Citilink GA 070 yang tidak jadi kami tinggalkanApa yang kami lakukan jika harus ketinggalan pesawat. Apalagi tujuan utama saya sebenarnya adalah Makassar. Si Riyan punya rencana ke Jogja aja, sedangkan saya dan Ade merencanakan naik pesawat selanjutnya, hehe. Beruntung cerita ini memiliki
happy ending. Kami bisa
check-in tepat waktu,
boarding lancar, dan penerbangan melintasi Laut Jawa juga lancar. Jantung ini sudah kembali dalam kondisi netral. Jugaaa dengan biaya yang seminim mungkin. Hamdalah!!!!
*sumber gambar bis kota Surabaya: surabaya.detik.com