Sekitar pukul setengah empat, travel masuk ke daerah Lembah Segar. Tak lama mobil berhenti di sebuah sisi jalan yang katanya ini adalah terminal. Kami pun turun kemudian jalan menuju sebuah hotel yang tadi kami lihat dari dalam travel. Letaknya di ujung jalan travel ini berhenti. Kami memilih Hotel Heritage Ombilin untuk bermalam di Sawahlunto. Dengan rate per malam Rp200.000 rupiah (tentu yang termurah), kami mendapatkan kamar yang modern dan bisa dibilang jauh lebih nyaman dibanding kamar hotel kami di Bukittingga kemarin. Sebelumnya saya sudah menghubungi dulu hotel ini untuk booking supaya pengalaman sulit mencari hotel di Bukittinggi tak terulang dan keputusan ini terbkti sangat tepat karena ketika saya sampai di hotel, seluruh kamar sudah penuh.
Hotel Heritage Ombilin terletak di tengah kota. Pada awalnya, hotel ini dibangun sebagai tempat penginapan ahli-ahli tambang asal Belanda. Kini menjadi penginapan bagi wisatawan yang datang ke Sawahlunto. Kami memilih kamar yang standar, dengan biaya per malam Rp200.000 (rate dasar Rp169.000, ditambah pajak dan servis jadi Rp200.000) kami mendapatkan kamar yang sangat bersih dan dingin. Tempat ini sangat direkomendasikan bagi Anda yang berkunjung ke Sawahlunto.
Selesai meletakkan barang di kamar, satu hal sangat penting yang harus saya cari, makaaan!! Walaupun sebelumnya sudah ditraktur Uda Andry, tetapi perjalanan ke kota ini menghabiskan banyak energi, langsung saja ke luar hotel mencari makanan. Saya menemukan penjual mie ayam tepat di depan hotel, alhasil langsung saya menesan dan makan lagi. Selesai makan, saya kembali ke kamar dan istirahat sebentar.
Sekitar pukul empat sore setelah mandi, saya memilih ke luar kamar dan mencari tahu hal-hal menarik di kota ini. Rekan saya memilih di hotel saja. Tak apa lah muter-muter sendiri toh pasti akan bertemu hal-hal menarik juga. Pertama-tama saya masuk dulu ke area Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Gedung ini memiliki arsitektur yang menarik, bangunannya khas zaman kolonial. Di depannya ada sebuah kolam, tapi sayang tak ada airnya. Di depan pintu ini banyak remaja-remaja duduk dengan memandangi laptop mereka.
Kemudian saya lanjutkan menyeberangi sungai, menuju Kantor PTBA UPO (Perusahaan Tambang Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin). Di depan kantor ini sedang diadakan acara musik jadi banyak masyarakat berkumpul. Saya lewatkan saja keriuhan ini menuju jalan yang entah ke mana ini tujuannya. Kira-kira 500 meter saya berjalan, di sisi kiri saya melihat Lobang Mbah Soero. Saya lanjutkan berjalan. Terdapat keramaian lain di depan saya, saya melajukan kaki ke sana dan ternyata sedang ada pertanding voli putri. Cukup meriah dan menunjukkan bahwa warga Sawahlunto kompak. Letak lapangan itu persis di samping Museum Goedang Ransoem. Saya tidak masuk ke Lubang Mbah Soero dan museum karena sudah tutup. Rencananya besok pagi saya akan ke sana lagi.
Kemudian saya memutuskan untuk kembali ke gedung PTBA. Saya kembali ke arah hotel, menuju Gereja St. Lucia yang cukup unik arsitekturnya. Selesai mengambil foto, saya lanjutkan ke arah Pasar Sawahlunto. Bangunan di pasar ini perpaduan budaya Minang dan Eropa. Aroma kolonial Belanda masih terasa di beberapa rumah, seperti Rumah Pek Sin Kek dan Pegadaian Sawahlunto. Suasana sore di Sawahlunto ini cukup tenang, terlihat di pasar beberapa orang sedang menaikkan dan menurunkan barang.
Saya terus berjalan melintasi jembatan. Dari titik saya berdiri terlihat sungai yang membelah kota dengan sebuah jembatan kokoh melintang. Juga tampak sebuah menara tinggi dan kubah-kubah besar berwarna coklat tua. Saya pun menuju ke sana. Rupanya kubah-kubah besar tadi adalah kubah Masjid Agung Nurul Islam dan menara itu juga menara masjid. Berdasarkan sejarah, masjid ini dulunya adalah pabrik tambang dan cerobong pabrik diubah fungsinya menjadi menara masjid. Menara masjid ini sempat didaulat menjadi menara masjid tertinggi se-Sumatera.
Kaki saya masih ingin terus beranjak. Kini saya mengarah ke sebuah bangunan seperti stasiun. Dan memang ketika saya semakin mendekat bangunan itu adalah stasiun dan masih berfungsi pula sebagai stasiun dengan nama Stasiun Sawahlunto. Selain itu stasiun ini juga menjadi Museum Kereta Api Sawahlunto, museum kereta api kedua setelah Museum Kereta Api Ambarawa. Cukup anggun museum ini, sosok kolonialnya cukup terasa.
Matahari sudah memasuki peraduannya, tanda petang sudah tiba. Saya turun melewati tangga di belakang Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto dan langsung berseberangan dengan hotel. Sebelum masuk ke hotel saya mengambil foto sebuah Gedung Koperasi unik di sisi perempatan jalan. Bangunan itu kini masih berfungsi dan diperuntukkan sebagai minimarket. Saya masuk ke hotel dan duduk-duduk di lobi. Teman saya menghampiri saya. Kami menonton televisi dan membaca-baca surat kabar dan juga buku-buku tentang Kota Sawahlunto yag disediakan di lobi hotel.
Pemerintah setempat memang benar-benar serius menjadikan kota ini sebagai destinasi wisata terbaik. Hal ini terbukti dengan beragam buku yang ada di lobi Hotel Ombilin ini, foto-foto, dan juga masterplan pembangunan Kota Sawahlunto ke depan. Sawahlunto mempersiapkan diri menjadi kota wisata.
No comments:
Post a Comment