Saturday, 5 March 2011

Bali: Gianyar, Kintamani, dan Desa Penglipuran

Selamat pagi Ubud!

Senang rasanya membuka mata dan menghirup udara segar Ubud. Matahari sudah menyapa lembut untuk menyegerakan berjalan-jalan pagi. Kami memutuskan kembali ke Central Ubud dulu baru kemudian ke arah timur, melewati pasar dan kembali ke homestay melewati Jalan Hanoman. Hiruk pikuk terlihat di Pasar Ubud, motor-motor sudah berjejer di lapangan parkir dan semua orang menenteng kantung plastik belanjaan. Uniknya tidak hanya makanan yang dibeli, tetapi berbagai macam bunga juga masuk daftar belanja. Masyarakat Bali membeli bunga-bunga itu untuk dijadikan sesajen, baik di rumah atau pun kendaraan mereka.

Ubud di pagi hari lebih diramaikan oleh masyarakat lokal dibanding turis-turis asing. So, kami merasa banyak teman di sini, hehe. Kami meneruskan perjalanan mencari apa saja yang bisa dimakan, tetapi kami tak menemukannya. Kami memutuskan membeli minuman dan makanan ringan di convenience store di persimpangan Jalan Hanoman dan Jalan Raya Ubud. Setelah melakukan pembayaran, kami berjalan turun menyusuri Jalan Hanoman. Kemudian berbelok ke kanan ke Jalan Dewi Sita. Tak lama kemudian kami menemukan lapangan bola. Dan di seberangnya riuh rendah suara anak SD membahana di pagi hari. Kami kembali ke kamar, memesan sarapan sederhana (scrambled eggs + teh manis), dan packing untuk melanjutkan penelusuran ke Kintamani dan sekitarnya.

Jam 9 tepat, Bli Made sudah tiba menjemput kami. Rencana kami hari ini adalah menuju Pura Gunung Kawi Tampaksiring, kemudian ke Pura Tirtha Empul, Kintamani Batur, Desa Adat Penglipuran, dan Goa Gajah untuk kemudian ke Sanur. Mobil langsung tancap gas ke Pura Gunung Kawi Tampaksiring yang tidak terlalu jauh dari Ubud.

Kurang dari satu jam kami sudah tiba di Pura Gunung Kawi. Membayar tiket dan mengenakan kain Bali, kami menuruni tangga-tangga menuju Pura Gunung Kawi. Satu dua tiga empat lima hingga tak terhingga mungkin kami menuruni satu per satu anak tangga. Dan memang lumayan jauh turun ke bawah untuk menuju pura tersebut. Namun, again kemolekan alam Bali yang membantu kami, hamparan sawah dan aliran kali kecil mengibur kami. Akhirnya tiba juga di relief pertama di kompleks ini.

Perjalanan ke bawah menuju Pura Gunung Kawi

Saya sedikit menyesalkan mengenai sumbangan seikhlasnya untuk meminjam kain Bali, ibu yang menjaga sejak awal sudah menyuruh memasukkan dulu uang di kotak bertuliskan donasi baru kemudian diberikan kainnya, tetapi sebenarnya jika tidak memasukkan donasi ke kotak itu tidak masalah bukan

Pura Gunung Kawi

Menuju relief berikutnya kami melewati sungai kecil yang cukup deras arusnya. Berjalan menapaki jalan batu ini kami dipertontonkan Pura Gunung Kawi yang arsitekturnya sangat indah dan menyatu dengan alam. Di samping pura ini kami melihat kembali jejeran relief yang kedua yang menurut kami lebih besar. Memandang ke sisi seberang melihat rimbunnya pepohonan dan mendengar suara menyegarkan aliran sungai membuat hati serasa di surga, sungguh damai. Setelah mengembil beberapa foto, kami berniat kembali ke atas untuk melanjutkan perjalanan. Lima puluh anak tangga serasa santai dilewati, tetapi masih ada ribuan anak tangga lain, hehe lebay, yang masih menghadang. Dengan nafas terhentak-hentak akhirnya kami tiba di pucuk loket tiket awal tadi. Langsung kami menghujam mobil dan menenggak sebotol air segar. Perjalanan dilanjutkan ke Pura Tirtha Empul, pemandian di bawah Istana Tampaksiring.

kolam suci di Pura Tirtha Empul

Belum sempat berleha-leha, kami sudah tiba di halaman parkir Pura Tirtha Empul. Jarak Gunung Kawi dan Tirtha Empul mungkin hanya lima menit dengan mobil. Kami langsung turun dan masuk ke dalam pura, tentunya membayar tiket terlebih dahulu. Di dalam ternyata sudah banyak orang yang mengunjungi pura ini, kebanyakan turis Asia. Sungguh indah perpaduan tempat ibadah, kolam dengan air jernih, dan kemegahan Istana Tampaksiring. Hati saya kembali berdecak melihatnya.

Istana Tampaksiring dipandang dari Pura Tirtha Empul

Pura Tirtha Empul ini sebenarnya terletak berdampingan dengan Istana Tampaksiring. Bedanya istana kepresidenan itu berada di atas bukit di samping pura dan keduanya dihubungkan dengan anak tangga. Kembali wanita-wanita Bali membawa sesajian di atas kepala mereka. Dan mereka semua menuju bagian dalam pura. Saya mencoba ikut masuk ke dalam dan mengamati apa yang mereka lakukan, tetapi rencana saya gagal karena saya tertarik melihat seni arsitektur di sekujur pura, termasuk kolam pemandian sucinya dan istana di atasnya. Sekitar satu jam kami habiskan mengitari pura dan kami kembali ke mobil karena awan gelap sudah menutupi.

sekitar Pura Tirtha Empul

Kami menuju ke utara, ke arah Kabupaten Bangli. Tak lama menempuh perjalanan, kami tiba di sebuah loket besar pintu masuk objek wisata Kintamani. Kami diturunkan di sebuah tempat yang memang sengaja disediakan untuk menikmati pemandangan danau dan gunung. Kami menuju spot terbaik untuk melihatnya dan memang sungguh menakjubkan, sebuah danau diapit dua gunung yang memiliki keunikan tersendiri. Di sebelah kiri yang berbentuk strato adalah Gunung Batur dan di sebelah kanan yang sedikit memanjang dan lebih tinggi adalah Gunung Abang. Danau itu sendiri bernama Danau Batur. Pemandangannya sangat indah dan semilirnya angin menambah kenyamanan untuk menikmati alam Bali.

Danau Batur dan Gunung Abang

Pemandangan di Kintamani

Kami tak menghabiskan banyak waktu di Kintamani, kira-kira hanya tiga puluh menit kemudian kami bersiap menuju objek wisata selanjutnya, yaitu Desa Adat Penglipuran. Sebenarnya di kawasan Kintamani ini juga ada museum yang bisa dipertimbangkan untuk dikunjungi, yaitu Museum Gunung Api Batur. Tetapi mood kami berkata lain untuk masuk ke sana, jadi kami langsung mengarah ke Penglipuran yang juga terletak di Kabupaten Bangli.

Jalanan di utara Bali ini bisa dibilang sepi, tak jarang kami adalah satu-satunya mobil yang melintas di jalan yang sedang kami lalui. Menuju Desa Adat Penglipuran perjalanan ditempuh sekitar tiga puluh menit. Begitu mobil masuk, lagi alunan khas yang sangat indah dari Karawitan Bali terdengar, sungguh damai hidup di sini. Setelah membayar beberapa ribu uang retribusi, kami masuk ke dalam dan memarkirkan mobil dekat dengan taman di samping jalan menuju desa.

Desa Adat Penglipuran

Melangkahkan kaki masuk, menengok ke kanan dan kiri memang sangat rapi desa ini, tiap rumah bentuk pagarnya sama dan sekitar seratusan rumah berjejer rapi memanjang dari atas ke bawah seperti undak-undak. Di posisi paling atas terlihat sebuah pura yang anggun. Kami berjalan-jalan dari satu rumah ke rumah yang lain, sesekali ibu-ibu menyapa kami dan menanyakan asal kami dengan sangat ramah dan bersahabat. Kami pun tak mau kalah ramah dengan mengobrol sedikit menanyakan ini itu. Yang kami ketahui adalah pemuda di Desa Penglipuran ini banyak yang bekerja di kapal-kapal pesiar di wilayah Bali Selatan.

Desa Adat Penglipuran

Setelah mendekati pura, kami memutuskan kembali turun ke bawah. Kami melihat anak-anak sedang bermain dengan bahagia, berlarian ke sana ke sini. Kami kembali ke mobil dan siap menuju Goa Gajah. Keluar dari kompleks desa, Bli Made memilih jalan yang kelihatannya jarang dilewati mobil. Bli Made mengambil jalan yang melewati hutan bambu yang gelap dan rimbun, pemandangan yang jarang kami temui. Sekitar satu kilometer pandangan kanan kiri ditutup bambu, akhirnya kami bertemu kembali dengan sawah-sawah lapang dan mobil terus dipacu ke selatan kembali ke Gianyar.

Hutan Bambu dekat Desa Penglipuran

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...