Perjalanan dari Singaraja menuju Ubud kurang lebih selama satu setengah jam ditambah pemandangan indah. Sesampai di Ubud, kami disambut kerimbunan pepohonan di Monkey Forest Ubud. Kami menuju utara mencari penginapan di Jalan Monkey Forest. Kemudian, kami turun di beberapa penginapan menanyakan kamar yang tersedia dan yang utama adalah rate per malam.
Sebenarnya kami sudah menghubungi beberapa penginapan dan mengirimkan beberapa email untuk mendapatkan penginapan, tetapi kami memutuskan mencari di hari itu saja karena banyak pilihan dan penginapan-penginapan yang kami hubungi sebelumnya masih agak jauh dari pusat UbudSetelah sekitar 30 menit bertanya-tanya, kami berhenti di sebuah persimpangan jalan dekat dengan sebuah SD dan lapangan bola. Kami diberi petunjuk oleh Bli Made untuk masuk ke sebuah gang dan mencoba menanyakan penginapan di sana. Setelah bertanya-tanya di beberapa tempat, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di Narasoma Homestay. Kami menurunkan barang-barang dan besok akan dijemput Bli Made untuk melanjutkan perjalanan ke Kintamani hingga Sanur.
Narasoma Homestay terletak tidak terlalu masuk ke dalam gang. Kamar-kamarnya cukup berpencar. Kami menginap di Budget Room. Kondisinya sederhana, kasur queen size, lemari, handuk (tanpa perlengkapan mandi), dan ada kamar mandi dengan bathub. Yang agak kami sesali adalah kondisi kamar mandinya yang kotor dan agak terbuka (ada lubang yang memang sengaja dibuat sebagai unsur seni sebenarnya) bagi kami warga pribumi. Awalnya kami menanyakan jumlah orang yang menginap, si penerima tamu menjawab banyak, tetapi selama kami di homestay tersebut sepertinya hanya kami berdua. Kemudian kami cukup menyesalkan pilihan kami karena kami terburu-buru menentukan pilihan penginapan padahal masih banyak alternatif lain yang dekat dengan Central Ubud dan suasananya lebih ramai.Setelah merapikan barang, kami melihat-lihat kondisi sekitar. Kami berjalan ke arah utara karena kami lihat cukup menarik dengan banyak toko yang berjejer. Tak lebih dari satu kilometer, kami tiba di persimpangan jalan utama. Dan saya langsung tercengang melihat kemolekan Ubud dari persimpangan ini. Saya mulai berpikir saya akan mendapatkan jawaban mengapa kota yang saya jejaki sekarang ini terpilih sebagai Kota Terbaik di Asia.
Wanita-wanita asli Bali yang membawa bermacam-macam buah yang ditata rapi menjulang di atas kepalanya memberikan kesan yang sangat baik. Kemudian mulai alunan gamelan Bali merasuki hati saya, sungguh enak dan damai didengar. Ditambah saya tak melihat adanya kemacetan di pusat kota ini yang kata banyak orang sudah mulai sering terjadi. Saya dan kakak saya melanjutkan jalan ke arah barat yang terlihat ramai. Rupanya sedang ada upacara di Pura Ubud ini, entah apa namanya, yang paling utama saya dapat menikmatinya. Kami terus berjalan ke barat, di kanan kiri banyak gang yang di depannya bertuliskan papan nama penginapan yang ada di gang-gang tersebut. Kemudian kami melewati Museum Puri Lukisan yang nampaknya sedang dalam renovasi.
Merasa sudah terlalu jauh dari pusat kota, kami memutuskan balik ke Central Ubud. Tak ada rasa lelah selama kami menyusuri jalanan Ubud yang damai, tak seramai Kuta dan tak sesepi Lovina. Lantunan karawitan Bali semakin jelas terdengar dan semakin banyak orang berdatangan ke Pura Ubud ini. Sekali lagi inilah jawaban Ubud sebagai Kota Terbaik di Asia. Seluruh masyarakat asli Ubud mengenakan pakaian adat mereka (mungkin ini pakaian sehari-hari mereka). Mengambil beberapa foto dari depan pura, kami menuju Jalan Suweta, di samping Pura Ubud dan menuju utara. Kami lihat jalanan ini sepi, jadi kami hanya jalan-jalan sebentar dan mencoba mencari tempat makan yang enak dan murah. Kami melihat ibu penjaja sate ramai didatangi pembeli dan kami berencana makan malam di situ. Kemudian kami kembali ke penginapan untuk istirahat sebentar, mencoba mandi kalau mungkin, dan mengambil duit yang ternyata tidak kami bawa selama jalan-jalan.
Kami kembali mengelana ke pusat Ubud sekitar pukul setengah delapan malam. Kami keluar jalan-jalan karena paksaan perut kami alias lapar berat. Yap, kami makan malam di warung sate yang tadi kami lihat laris oleh pembeli. Beruntung di sana hanya ada satu bapak yang sedang makan soto kalau tidak salah. Saya memesan sate ayam dan kakak saya memesan sate babi. Hmm, saya pikir sate yang saya makan ini cukup enak dan cukup mengenyangkan. Setelah santap malam yang sederhana selesai, kami sedikit bingung mau menghabiskan malam di mana.
Kami kembali berjalan ke arah barat lagi dan lantunan Karawitan Bali masih terdengar. Kami berhenti di sebuah cafe yang sedang melakukan pementasan Tari Barong. Kami masuk saja ke sana walaupun kami tahu uang kami seharusnya tidak diperuntukkan untuk berleha-leha di tempat itu.
Rencana kami adalah menghabiskan malam di cafe tersebut. Kami memutuskan hanya memesan minuman. Dan saya memberikan kesan tersendiri di tempat itu, saya memesan segelas Bir Bintang ukuran 0.5 liter dan kakak saya memesan minuman sejenis yang entah saya lupa namanya. Huhu saya penasaran bagaimana rasaya seteguk bir itu, tak ada bayangan sama sekali. Saya hanya sebatas penasaran bukan nafsu, hehe. Pesanan datang, agak-agak gimana gitu pas mau minum, tapi saya coba saja seteguk. Dan hmmmp, lebih baik saya memesan sepuluh cangkir es teh manis daripada segelas Bir Bintang. Huh, tak ada enaknya saya pikir dan tentu saya tak akan memesan minuman itu lagi, udah nggak enak dan mahal pula, haha. Dan saya berjanji akan langsung makan es krim untuk menetralkan rasa bir itu.
No comments:
Post a Comment