Saya tiba di loket Pelabuhan Merak, tertulis harga tiket per orang Rp10.000 (per Juni 2010) dengan feri biasa. Saya langsung membayar dan lagi, mengikuti ke mana saja orang-orang berjalan. Tak lama berjalan, terlihat sebuah kapal yang sedang sibuk menaikkan penumpang. Saya pun ke arah sana. Dan ikut berbaris rapi untuk masuk ke dalam kapal, walaupun sebenarnya tidak rapi.
Setelah masuk ke dalam, saya cukup bingung untuk duduk di mana. Ada yang menggelar tikar dan nampaknya mereka sudah saling kenal, ada yang duduk-duduk di dekat kantin. Ada yang berduaan. Sedikit linglung saya mau duduk di mana. Ingat dengan cerita di blog yang saya baca bahwa dengan membayar lebih, saya bisa masuk ke ruang yang disebutnya Ruang VIP. Saya pun turun dari bagian paling atas kapal ke tengah. Memang saya menemukan sebuah ruang tertutup yang dijaga seorang petugas. Ketika saya membuka pintu petugas mengatakan menolak saya untuk masuk, saya bertanya, “Nambah berapa (bayarnya), Pak?” Kemudian petugas itu mengizinkan saya masuk dan memberikan selembar tiket. Saya harus membayar lagi sebesar Rp5.000 untuk bisa duduk di ruang yang ber-AC dan ber-TV ini. Saya pikir tak masalah karena ada kursi-kursi yang jelas di sini dan bisa mengakomodir orang yang bepergian sendiri.
Saya memilih duduk di bagian tengah karena di bagian depan sudah penuh. Saya bertanya kepada ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya, “Ada orang yang duduk di sini, Bu?”, ibu tersebut menjawab tidak. Saya duduk di sampingnya. Kemudian saya meminta tolong menjaga tas saya dan saya berwudhu untuk salat Dzuhur di musala yang terletak di bagian belakang ruang ini. Selesai salat, saya kembali ke tempat duduk saya dan makan nasi bungkus yang saya bawa dari rumah.
Dari atas feri
Dari atas feri
Sekitar pukul 15.15 atau dua jam lebih di atas kapal, kapal tiba di Pelabuhan Bakauheni. Ketika menuju ke luar ruangan ber-AC ini, banyak orang yang menawarkan kendaraan mereka untuk mengantarkan menuju Bandar Lampung atau kota-kota besar di Sumatera lainnya, seperti Palembang, Padang, Medan. Saya bertanya mengenai biaya untuk ke Bandar Lampung, mereka menjawab Rp30.000 dan langsung berangkat. Karena saya sudah sedikit membaca bahwa dengan bus bisa mendapatkan harga lebih murah, saya menolak tawaran tersebut dan memilih naik bus.Letak terminal Bakauheni bersebelahan dengan pelabuhan, saya menuju ke sana. Sudah banyak bus berjejer. Untuk menuju Bandar Lampung menggunakan bus tujuan Rajabasa, terminal di Bandar Lampung. Ada dua jenis bus yang ada, bus AC yang bertarif Rp22.000 dan bus non-AC dengan tarif Rp18.000. saya memilih menggunakan bus ber-AC karena perbedaan harga yang tidak begitu jauh dan saya sudah berjuang keras dari Jakarta Kota hingga di sini, jadi boleh lah sedikit menyamankan diri.
Pelabuhan Bakauheni menghadap Selat Sunda
Tak lama bus sudah penuh, bagian tengah bus pun penuh karena awak bus menempatkan kursi nonpermanen di tengah, jadi cukup sulit jika bergerak. Akhirnya bus jalan. Sebuah bangunan emas yang mencolok mata terpampang di depan. Coba saya ingat-ingat, itu adalah Menara Siger, simbol khas Lampung. Cukup tepat meletakkan monumen itu di dekat pelabuhan karena menunjukkan simbolnya. Bus semakin memacu kecepatannya menuju utara ke arah Kalianda.
Tampak Menara Siger di kejauhan
salah satu sudut Jalan Lintas Sumatera yang sedang diperbaiki
Akhirnya di malam yang gelap pukul 20.00, bus tiba di Terminal Rajabasa yang terkenal dengan tindak kriminalnya. Saya agak takut mau mengarah ke mana. Saya coba menanyakan kepada seoarang wanita letak Jalan Radin Inten. Dia tidak tahu dan memanggil seorang tukang ojek untuk membantu saya. Saya mengatakan tujuan saya adalah stasiun dia mengatakan tahu dan setuju mengantarkan saya ke sana dengan biaya Rp20.000. Saya setuju saya. Setelah berjalan dengan motornya, ia menuju jalanan sepi dan gelap, ternyata ia mengantarkan saya ke stasiun kecil, bukan Stasiun Tanjung Karang yang menjadi tujuan saya. Kemudian saya mengatakan, “Bukan Bang, Ke Tanjung Karang di Radin Inten” dia menjawab, “Oh, saya pikir di sini, ok lima puluh ribu ya”. HAH! Lumayan kaget saya mendengar besara biayanya. Selama perjalanan saya mencoba untuk menawar dengan berbagai cara. Tetapi si tukang ojek ini selalu mengatakan, ”Sudah malam nih, De”.
Sekitar tiga puluh menit lebih berkendara dengan motor, si tukang ojek menurunkan saya di Jalan Radin Inten di sebuah hotel yang memang tujuan saya. Mau tak mau saya membayar uang sebesar yang ia minta. Saya mengucapkan terima kasih karena saya merasa aman dan aspain di tempat tujuan saya. Saya masuk ke Hotel Kurnia Dua . Saya Langsung memilih kamar termurah di hotel itu seharga Rp190.000 per malam, mahal sih, tetapi saya berpikir tak apa untuk kali pertama jalan sendirian dan di tempat asing ini. Saya masuk kamar dan langsung mandi karena sudah tidak karuan.
No comments:
Post a Comment