Sunday 10 April 2011

Semarang: Kembali dari Ambarawa dan Jalan-jalan Malam di Semarang

Masjid Agung Jawa Tengah

Di dalam mobil yang mau memberikan tumpagan kepada saya itu kami mengobrol ringan. Membicarakan hal-hal kecil di seputar Semarang sini. Membicarakan kehidupan Mas Adi, namanya, yang bekerja mengantarkan sayur-sayuran ke pasar. Obrolan cukup berat ketika saya tanyakan mengenai pemilu di Kabupaten Semarang ini. Mas Adi menjawab sekarang tidak ada pejabat yang benar. Mereka hanya memerhatikan warga saat kampanye saja, selanjutnya sudah ngurus diri sendiri. Akhirnya kami turun di salah satu halte di dekat Pasar Ambarawa, saya membayar enam ribu rupiah seperti perjanjian di awal dan tak lupa mengucapkan terima kasih banyak.

Perjalanan kami belum selesai, kami masih harus mencari bus kecil menuju Semarang. Setibanya di Semarang nanti, kami akan bertemu dengan rekan SMP kami yang sudah dua tahun terakhir tinggal di Semarang. Tak lama sebuah bus kecil yang kami cari datang dan kami segera naik. Perjalanan ke arah Semarang cukup lancar walau di Ungaran tersendat sedikit. Kami tiba di Semarang, turun di dekat Masjid Baiturrahman Semarang dan salat Ashar di masjid itu.

Pada pukul enam lima belas, rekan kami datang ke Masjid Baiturrahman dengan mobil bersama ibunya dan kami diajak ke rumah mereka. Setiba di rumah teman kami, kita salat Maghrib bersama dan setelah itu kami keluar rumah untuk makan malam bertiga diantar supir teman kami. Kami memilih makan soto di sebuah rumah makan besar di Kota Semarang ini. Selesai menutupi kelaparan, kami menuju Semarang Timur ke Masjid Agung Jawa Tengah yang megah dan unik.

Masjid Agung Jawa Tengah

Tiba di masjid ini, di depan terdapat enam air mancur mini yang menggambarkan enam rukun iman. Kemudian ada lima tulisan rukun Islam di antara enam air mancur tadi. Yang cukup menonjol dari masjid ini adalah menara masjid setinggi 99 meter yang dapat kita jangkau dengan menggunakan lift. Menara ini disebut juga Menara Asmaul Husna. Setelah memarkirkan mobil, kami menuju dasar menara untuk membeli tiket sebelum naik ke atas. Harganya Rp5.000 (per Mei 2010).

Menara Asmaul Husna

Selain digunakan untuk memandangi Kota Semarang dari ketinggian, di menara ini juga terdapat perpustakaan dan rumah makan. Kami tidak kedua tempat tersebut karena sudah tutup dan kami sudah makan. Memang, dari menara ini terlihat keindahan lampu-lampu Kota Semarang. Pusat kota, kota atas, pelabuhan, bandara, rumah-rumah, semua terlihat dari sini. Sebuah pemandangan yang mengasyikan dan indah. Di sini juga disediakan teleskop untuk melihat pemandangan lebih detil. Dengan memasukkan sebuah koin Rp500 kita bisa menggunakannya. Selesai menikmati keindahan dari atas, kami turun ke bawah untuk masuk ke masjid. Lapagan masjid ini berkeramik, di sini bisa juga digunakan untuk salat. Di atasnya ada payung raksasa yang bisa terbuka sebagai atap, biasanya dibuka jika ada hari raya Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Di lapangan ini juga terdapat 25 pilar yang menyangga tulisan-tulisan Arab. Kedua puluh lima pilar ini menunjukkan jumlah nabi dan rasul sebanyak 25.

Bagian dalam masjid

Kemudian kami masuk ke masjid dan melaksanakan Salat Isya di sana. Karena sudah malam dan sepi, jadi pintu utama tidak dibuka. Kami masuk melalui pintu bawah. Di dalam memang sangat sepi, hanya kami berdua yang ada di sana. Selesai salat, kami keluar dan segera menuju tempat selanjutnya sekaligus yang terakhir untuk hari ini, yakni Kelenteng Sam Poo Kong di wilayah pecinan di Semarang.

Kelenteng ini cukup sepi di malam hari (ya iya lah). Ketika kami ke sana ada sekitar satu keluarga Tionghoa yang sedang beribadah. Dekorasi merah dan lilin-lilin mendominasi nuansa kelenteng ini di malam hari. Patung-patung berbau Tionghoa banyak di sini. Di bagian belakang tempat peribadahan ada dinding yang diukir menggambarkan sejarah kedatangan Laksamana Cheng Ho di bumi Semarang ini. Setelah cukup bermain di kelenteng, kami diantarkan rekan kami kembali ke rumah tante saya. Terima kasih, kawan!

(cerita berlanjut ke edisi di Solo dan Jogja)

Semarang: Bertualang di Ambarawa dan Gedong Songo

Esok harinya kami bangun pagi-pagi dan segera mandi dan sarapan untuk melanjutkan perjalanan ke luar Kota Semarang. Selesai makan kami langsung ke jalan raya dan mencari angkutan yang menuju Banyumanik . Kami menaiki bus mini yang mengarah ke Tugu Muda dan kemudian akan menuju Banyumanik . Kami tiba di di depan pom bensin Banyumanik sekitar pukul setengah sembilan pagi. Di situ kami menunggu bus tujuan Ambarawa. Sebelumnya saya bertanya dulu kepada orang-orang yang ada di sekitar situ tarif yang harus dibayar. Kisarannya sekitar enam ribu ribuan. Selesai mendapat informasi, kami naik bus pertama yang datang.

Bus melaju melewati jalanan Kota Semarang. Tak lama kami sudah meninggalkan Kota Semarang dan masuk ke ibukota Kabupaten Semarang, yakni Ungaran. Di Ungaran ini perjalanan agak tersendat karena ada pasar yang harus dilewati, jalan ini sedang atau tidak sedang Lebaran tetap saja macet. Ke luar dari kemacetan bus menambah kecepatan menuju ke selatan ke arah Bawen. Di persimpangan Bawen bus berbelok ke kanan ke Kota Ambarawa. Di kota Ambarawa ini lah aku dilahirkan.

Sekitar tiga puluh menit dari persimpangan Bawen, kami turun, tepatnya di dekat patung tank depan Monumen Palagan Ambarawa. Kami menyeberang dan masuk ke Palagan Ambarawa ini. Membayar tiket sebesar Rp2.000/orang (per Mei 2010). Palagan Ambarawa ini salah satu bukti kegigihan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Tengah dalam mengusir penjajah. Saat kami masuk ke kawasan ini, kondisinya sangat sepi. Mungkin hanya kami berdua pengunjung yang ada di sini. Kami berputar-putar di monumen ini, membaca-baca tulisan yang tertera di sana-sini.

Monumen Palagan Ambarawa

Selesai di Monumen Palagan Ambarawa, kami melaju turun ke bawah ke jalan di depan monumen ini. Tujuan kami selanjutnya adalah Museum Kereta Api Ambarawa yang terkenal itu. Jarak antara monumen dan museum tidak begitu jauh, kira-kira lima belas menit jalan kaki santai. Tiba di museum, kami membayar tiker Rp4.000/orang (per Mei 2010). Di museum ini suasana lebih ramai dibanding di monumen. Ada beberapa wisatawan asing di sana. Kami jalan-jalan masuk ke dalam ruang pameran, melihat-lihat kereta zaman dulu dan arsitektur bangunan museum ini. Sayang kami tidak mencoba menggunakan lori yang ada karena waktu kami yang terbatas. Sekitar empat puluh menitan di dalam museum ini, kami keluar dan akan menuju tempat selanjutnya, Kota Bandungan.

Museum Kereta Api Ambarawa

Cuaca siang ini sanat-sangat panas. Kami membeli es krim dulu di convenience store di samping jalan menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Saat membayar, saya bertanya angkutan apa yang harus digunakan untuk menuju Bandungan, sang kasir menjawab naik angkot hijau hingga Polin (Toko Roti Pauline) terus dilanjutkan dengan angkot warna merah (kalau tidak salah) ke Bandungan. Kami mengikuti petunjuk kasir itu, naik angkot hijau dulu kemudian dilanjutkan angkot yang menuju Bandungan. Di depan Toko Pauline ini sebenarnya ada dua jenis angkot menuju Bandungan, yang satu memang berhenti di Bandungan dan yang satu lagi menuju Sumowono dan melewati Bandungan. Kami memilih saja angkot yang memang berhenti di Bandungan. Angkot mulai penuh dan kami pun berangkat.

Bandungan adalah kota wisata yang terletak di Kabupaten Semarang. Ini merupakan salah satu tempat berlibur favorit warga Semarang, seperti Puncak untuk warga Jakarta dan Lembang untuk warga Bandung. Kondisi kota ini dingin. Kami tiba di Bandungan kira-kira pukul satu siang dan lalu lintas di Bandungan ini sangat lengang. Ini lah untuk pertama kalinya saya ke Bandungan dan melihat Bandungan sesepi ini. Biasanya sangat ramai penuh kendaraan dan selalu macet. Kami berjalan sebentar di Bandungan ini, membeli makanan ringan untuk dilanjutkan ke Candi Gedong Songo yang letaknya sekitar enam kilometer dari sini. Kemudian kami menunggu angkot yang meuju Gedong Songo di sebuah persimpangan. Angkot pertama datang, tapi sangat penuh. Begitu pula angkot kedua yang datang dua puluh menit kemudian. Karena kami orang yang tidak begitu suka menunggu, kami memutuskan berjalan kecil ke arah Gedong Songo. Sekitar tiga puluh menit berjalan tak muncul angkot itu, kami terus berjalan hingga kira-kira tiga kilometer, waw! Akhirnya kami naik angkot setelah karena kami merasa sangat lelah.

Hanya lima menit kami naik angkot, kami sudah tiba di persimpangan jalan menuju Candi Gedong Songo. Untuk mencapai pintu gerbang candi, kami naik ojek. Awalnya tukang ojek mengatakan per orang membayar Rp20.000. kami menolak karena berdasarkan referensi kami bisa ke sana dengan hanya Rp10.000. Setelah berdebat sedikit akhirnya setuju, kami naik satu ojek dengan biaya Rp10.000 dan berdua. Jalan menuju candi ini sungguh indah, semua hijau di sana sini. Karena tingginya lokasi ini, kita juga dapat mellihat Kota Ambarawa dari kejauhan dan Rawa Pening yang biru. Sungguh indah melihat alam ini.

Pemandangan menuju Gedong Songo

Kami tiba di lokasi candi dan salat Dzuhur terlebih dahulu di dekat loket. Kemudian kami membayar tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang (tarif hari biasa, per Mei 2010). Perjalanan baru dimulai sebenarnya. Tak jauh, candi I dan II sudah terlihat. Kemudian jalanan masih menanjak dan angin dingin berhembus. Kami merasa sudah sangat lelah di sini. Sungguh sangat lelah, jadi kami hanya jalan-jalan kecil untuk menuju candi III, IV, dan V. Kami menghentikan langkah di candi V ini. Kami duduk cukup lama di sini. Beruntungnya, cuaca yang terlihat dari sini sungguh menakjubkan. Rawa pening terlihat sangat indah di bawah sana. Asap putih dari tempat pemandian di kawasan ini juga membuat eksotis pemandangan.

Candi Gedong Songo

Cukup menikmati pemandangan, kami mulai turun. Karena sangat lelah kami berjalan santai menuruni jalan setapak. Akhirnya kami tiba juga di pintu keluar. Dan kami bingung bagaimana kami harus turun ke bawah karena tidak ada ojek di sini. Kami coba mencari-cari tidak ada tukang ojek atau pangkalan ojek di sini. Akhirnya kami mencoba mengikuti jalan turun ke bawah. Jarak dari pintu masuk candi hingga ke jalan raya kira-kira tiga kilometer. Kami mencoba merasa kuat dan mampu. Alhasil setengah jam lebih atau bahkan satu jam kami berjalan, tiba juga kami di jalan raya. Benar-benar hari yang melelahkan.

Suasana di lingkungan Candi Gedong Songo

Masalah belum selesai, kami harus mendapatkan angkot menuju Bandungan atau Ambarawa. Mencoba bertanya-tanya di sekitar, orang-orang mengatakan bahwa jam-jam tigaan ini memang jarang angkot ke arah Bandungan/Ambarawa. Di tengah keputusasaan dan kelelahan kami, tiba-tiba muncul sebuah mobil pick-up yang menawarkan tumpangan menuju Ambarawa. Waw layaknya oasis di tengah gurun, dengan sangat senang kami menerimanya. Sungguh baik budi si pengemudi, alhamdulillah, hidup kami berlanjut.

Semarang: Kereta Argo Muria dan Jalan Kaki Hingga Simpang Lima

Lawang Sewu

Mei tahun lalu (2010) sebulan sebelum ke Lampung, saya dan teman saya melakukan perjalanan ke kota-kota besar di Jawa Tengah dan Jogja. Kami pergi ke Semarang, Ambarawa, Bandungan, Solo, dan terakhir di Yogyakarta. Perjalanan ke sana saya lakukan selama lima hari empat malam setelah sesuatu yang bersejarah menimpaku, diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jurusan Akuntansi! Bahagianya. Sebelumnya saya berjanji jika gagal masuk UI saya membatalkan rencana ini, tetapi Allah menyayangi saya dan saya mendapatkan berkah yang tiada tara. Pergilah saya.

Sebenarnya kota-kota yang kami kunjungi tidak asing buat saya. Saya tiap tahun pulang kampung ke Semarang dan hampir selalu mengunjungi Yogyakarta atau Solo. Tetapi yang membedakan kini saya mengajak teman saya dan tidak menggunakan kendaraan pribadi. Jadi ada tantangan tersendiri bagaimana mencapai suatu tempat yang tidak asing bagi saya dengan moda transportasi yang asing.

Perjalanan di mulai di hari Senin. Letak rumah kami berdekatan sehingga kami berangkat bersama. Kami memilih naik kereta untuk ke Semarang, kereta Argo Muria yang saat itu berharga Rp220.000. Kami menuju Gambir dengan menggunakan Transjakarta dari Pasar Cempaka putih hingga Gambir (Koridor II). Karena kereta berangkat pukul 08.10, saya dan teman saya berangkat sekitar pukul 07.00. Bus-bus Transjakarta pukul segitu sudah penuh, kami harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan bus yang agak lengang. Kami tiba di Stasiun Gambir sekitar pukul 07.40, masih ada 30 menit untuk menunggu.

Pengalaman naik kereta ini merupakan yang pertama bagi teman saya. Tepat pukul 08.10, kereta datang, kami masuk di gerbong 3. Meletakkan tas dan duduk menunggu hingga kereta berangkat. Kereta mulai melesat maju pukul 08. 25. Direncanakan kereta akan tiba di Semarang sekitar pukul setengah tiga siang. Selamat tinggal Jakarta!

Setelah enam jam lebih berada di atas rel, akhirnya kereta argo ini terparkirkan di Stasiun Tawang Semarang. Kami turun dari kereta dan mencari musala terlebih dahulu. Selesai menunaikan ibadah, kami keluar dari stasiun. Rencana kami malam ini adalah menginap di rumah tante saya di daerah Krapyak, Semarang Barat. Di sinilah saya mulai bingung, biasanya saya dijemput atau naik taksi, tapi tidak untuk saat ini. Setelah berpikir sejenak, kami mulai berjalan menuju Kota Tua Semarang yang ada di depan stasiun ini.

Muter-muter sejenak di ketenangan Kota Tua ini, saya melihat aplikasi maps di hape. Untuk menuju pusat kota, bisa melewati Jalan Pemuda Semarang yang titik awalnya tidak jauh dari tempat kami berada. Kami menuju jalan itu dengan bantuan peta ini. Jalan Pemuda kami susuri hingga akhirnya kami tiba persimpangan jalan besar. Nah di sini kami ke menuju ke taman di tengah persimpangan ini. Di sini lah terdapat Tugu Muda Semarang. Di sekelilingnya ada Lawang Sewu, Museum Manggala Bakti, Katedral, dan Rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. Istirahat sebentar di dekat tugu. Pemandangan sore ini cukup cerah, beruntung matahari tak terlalu terik.

Tugu Muda Semarang

Setelah sekitar lima belas menit istirahat, kami kemudian berencana melanjutkan perjalanan. Kami memilih menuju Jalan Pandanaran untuk menuju Simpang Lima. Menyusuri Jalan Pandanaran yang ramai ini cukup membuat kami lelah. Sudah tepar kaki ini untuk bergerak maju ditambah barang bawaan kami yang bisa dibilang besar dan berat. Jadi kami memutuskan jalan-jalan santai di sore hari menuju Simpang Lima.

Setelah lumayan berjuang, akhirnya sampai juga kami di Simpang Lima yang sangat terkenal sebagai ciri khas kota ini. Sebenarnya tujuan utama kami adalah salat Ashar di Masjid Baiturrahman yang ada di kawasan Simpang Lima ini. Selesai salat dan keliling-keliling sebentar di sekitar masjid ini, kami memutuskan ke rumah Tante saya dengan angkutan kota yang mengarah ke Terminal Mangkang dengan tarif Rp3.000 (per Mei 2010) turun di pom bensin Krapyak. Saatnya istirahat dan bersiap menjelajah Kabupaten Semarang esok hari!!

Lampung: Jelajah Kota Bandar Lampung

Saya tiba di hotel dengan kondisi basah kuyup. Kota ini diguyur hujan cukup deras. Saya langsung masuk kamar dan mandi. Selesai mandi saya membereskan tas dan langsung check-out. Rencana saya di siang ini adalah keliling di dalam Kota Bandar Lampung. Pertama yang saya lakukan adalah mencari makan siang. Saya menuju ke sebuah mal di kota ini. Letaknya tak jauh dari hotel yang saya inapi. Saya memilih makan di restoran siap saji karena saya pikir tempatnya cukup nyaman dan saya sudah tahu kisaran harganya. Selesai makan saya menuju ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa makanan khas dari Lampung untuk oleh-oleh.

Patung penganten mengenakan pakaian khas Lampung

Selesai dengan urusan perut dan oleh-oleh saya menuju ke salah satu landmark Kota Bandar Lampung, yakni Monumen Gajah Adipura. Letaknya di ujung jalan Radin Inten di sebuah perempatan jalan utama di kota ini. Perjalanan menuju monumen ini saya menemui patung sepasang pengantin yang mengenakan pakaian adat khas Lampung. Kemudian saya melanjutkan perjalanan ke arah Teluk Betung. FYI, Kota Bandar Lampung ini adalah gabungan dari dua kota yaitu, Tanjung Karang dan Teluk Betung. Teluk Betung sesuai namanya terletak lebih dekat dengan perairan daripada dengan Tanjung Karang.

Monumen Gajah Adipura

Masjid Agung Al-Furqaan Bandar Lampung

Perjalanan saya lanjutkan dan saya menemui sebuah masjid besar. Masjid ini bernama Masjid Agung Al-Furqaan Bandar Lampung. Saya sempatkan dulu salat Dzuhur di sini. Selesai salat, saya kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan saya berikutnya adalah Monumen Krakatau yang merupakan bentuk peringatan atas meletusnya gunung ini. Monumen in terletak dekat dengan Kantor Gubernur Lampung. Saya memanfaatkan fasilitas peta dan handphone saya selama perjalanan ini. Saya terus berjalan menggerakkan kaki-kaki saya untuk mencapainya. Cukup lelah tapi pasti seru, hehe.

Ornamen khas Lampung di sekitar Kantor Gubernur Lampung

Setelah kira-kira berjalan selama 45 menit akhirnya ketemu juga dengan Kantor Gubernur Lampung. Banyak masyarakat yang bersantai di sana. Yang muda bermain bersama dan yang tua bermain bersama anak-anaknya. Saya melanjutkan berjalan menuju Monumen Krakatau yang letaknya tak jauh dari sini. Sekitar lima menit, akhirnya saya tiba di sebuah taman yang di tengah-tengahnya terdapat Monumen Krakatau ini. Suasana di taman ini cukup ramai oleh anak-anakn yang berlari-larian. Selesai menlihat monumen ini, saya berencana beristirahat sebentar sambil menghabisi waktu untuk menunggu bus Damri nanti malam. Saya naik angkot ke arah Jalan Radin Inten.

Monumen Krakatau

Waktu menunggu masih sekitar empat jam lagi. Saya memutuskan untuk ke toko buku. Saya titipkan tas dan membaca-baca buku di toko buku ini. Saya pikir sudah cukup lama saya membaca, tetapi masih tiga jam lagi waktu untuk ke pool Damri. Saya ke luar dari toko buku itu untuk melaksanakan salat. Selesai salat, saya mencari tempat yang enak untuk makan. Cukup banyak waktu bengong yang saya lakukan, akhirnya pukul delapan saya mengambil tas saya di toko buku dan berjalan menuju Stasiun Tanjung Karang.

Kota Bandar Lampung

Bandar Lampung di malam hari lumayan sepi. Di sisi-sisi jalan dibuka warung-warung nonpermanen yang menjual aneka rokok dan minuman, mulai dari minuman berenergi hingga minuman keras. Sekitar dua puluh menit berjalan, saya tiba di Stasiun Tanjung Karang. Sudah banyak orang di sana. Mereka memiliki tujuan yang sama seperti saya, menaiki Damri untuk ke Jakarta. Menunggu sebentar, akhirnya bus saya tiba di pool ini. Saya masuk ke dalam dan tak menunggu lama. Memejamkan mata dan melemaskan otot karena sungguh lelah petualangan saya selama seharian di kota ini. Pak sopir memasukkan gigi dan bus bergerak maju. Pengalaman yang sangat-sangat berharga buat saya. Good bye Lampung, Bumi Ruwa Jurai!

Saturday 9 April 2011

Lampung: Pantai Pasir Putih dan Pulau Condong

Malam sebelum tidur, saya menyempatkan ke luar dari kamar dan mengobrol dengan satpam hotel. Saya mengajak ngobrol Pak Satpam. Saya mencari tahu alternatif transportasi untuk menuju Pantai Pasir Putih yang letaknya sedikit di luar Kota Bandar Lampung. Pak Satpam menyarankan untuk menggunakan jasa ojek menuju Pantai Pasir Putih. Ketika saya menanyakan kisaran biayanya, Pak Satpam menjawab sekitar Rp40.000. Uh waw, saya nggak mau lagi mengeluarkan biaya sebesar itu. Ketika apa yang saya cari belum ketemu, Pak Satpam memberikan nomor ponselnya dan juga nomor temannya. Saya mencatat di hape, mengucap terima kasih, dan kembali ke kamar.

Paginya saya bangun dan segera mandi karena rencana saya adalah saya harus sudah meninggalkan hotel untuk jalan-jalan sebelum pukul 7.30. Selesai mandi, saya mendapat sarapan yang cukup eksklusif di hotel ini, prasmanan dengan menu yang cocok dengan selera saya. Selesai makan, saya mengambil tas kecil saya. Pertama-tama saya akan membeli dahulu tiket Damri untuk kembali ke Jakarta nanti malam. Letak loket penjualannya ada di Stasiun Tanjung Karang, di ujung Jalan Radin Inten ini. Karena letaknya tak begitu jauh, saya memutuskan untuk berjalan kaki.

Stasiun Tanjung Karang, Bandar Lampung

Tak sampai dua puluh menit saya sudah tiba di Stasiun Tanjung Karang. Saya bertanya kepada Pak Polisi yang ada di dekat situ di mana lokasi penjualan tiket Damri. Ia menunjukkan posisinya persis di sisi stasiun. Saya menuju ke sana. Di dalam kantor penjualan tiket Damri sudah ada lima orang yang mengantre. Tiba giliran saya, petugas menjelaskan panjang lebar. Jadi ada tiga sesi keberangkatan menuju Jakarta, jam 8 malam, 9 malam, dan 10 malam. Nah di tiap sesi ada dua jenis bus, yang ada toilet dan ruang khusus merokoknya dengan jumlah seat sebanyak 24 orang seharga Rp149.000 (per juni 2010) dan yang satu lagi tanpa toilet dan tanpa ruangan khusus dengan jumlah seat 48 seharga Rp109.000 (per Juni 2010). Saya memilih tiket bus dengan harga yang paling murah dan berangkat pukul 9 malam karena yang pukul 8 malam sudah full.

Selanjutnya tujuan saya adalah Pantai Pasir Putih. Sekilas saya membaca catatan perjalanan di blog acuan, transportasi Damri dalam kota bisa digunakan. Saya penasaran untuk mencobanya. Apalagi pool Damri berada di depan stasiun. Saya masuk ke dalam salah satu bus yang sedang mangkal, kebetulan yang saya tumpangi adalah bus Damri non-AC tujuan Tanjung Karang-Teluk Betung. Ada dua bus yang melayani rute yang sama, yang satu ber-AC dan yang satu lagi non-AC. Yang ber-AC bertarif Rp2.500 dan non-AC bertarif Rp1.500 (per Juni 2010). Setelah bus cukup terisi penuh, Pak Sopir menjalankan busnya menuju selatan, menyusuri jalan Radin Inten ini dan jalan-jalan lain yang tidak saya ingat. Hingga akhirnya bus ini tiba di pemberhentian terakhir, Terminal Teluk Betung.

Saya bertanya kepada kondektur untuk angkutan menuju Tarahan, Pak Kondektur menunjukkan angkot berwarna jingga itu. Langsung saya naik ke salah satu angkot yang sudah ada penumpangnya. Sekitar tiga puluh menit berada di dalam angkutan itu, akhirnya saya tiba di sebuah persimpangan menuju Tarahan, sebenarnya saya turun di situ untuk berganti angkot tetapi karena angkot yang saya naiki tidak berhenti di situ dan terus melaju ke arah pantai, saya mengikuti saja. Tak berapa lama penumpang terakhir selain saya turun. Terus supir angkot menanyakan kepada saya mau turun di mana, saya menjawab Pasir Putih. Supir menawarkan biaya Rp25.000 untuk diantarkan sampai sana, jelas saya tolak. Akhirnya saya turun saja di pinggir jalan dengan membayar Rp4.000 dan bertanya kepada supir cara lain untuk menuju Pasir Putih, dia menjawab naik angkot biru. Kemudian saya turun dan berharap segera menemukan angkot biru.


Pantai Pasir Putih Lampung

Sekitar lima belas menit menunggu, angkot biru akhirnya tiba, saya segera masuk ke dalam. Saya hanya satu-satunya orang yang ada di sana selain supir tentunya. Tak jauh dari saya naik angkot itu, papan nama bertuliskan Pantai Pasir Putih sudah terlihat. Saya memberhentikan angkot dan membayar Rp3.000. Kemudian menyeberang dan akhirnya tiba di tempat tujuan saya hanya dengan biaya Rp8.500 jauh lebih murah daripada biaya ojek yang ditawarkan Pak Satpam hotel.

Aktivitas nelayan di perairan Pulau Condong

Masuk ke kawasan Pantai Pasir Putih saya harus membayar Rp6.000 padahal nominal yang tertera di tiket hanya Rp4.000. Huh sungguh tak profesional. Tak ambil pusing saya masuk ke dalam. Suasana pantai sangat sepi dan ada kabut sangat tipis di pagi yang cukup dingin ini. Terlihat di kejauhan aktivitas di Pelabuhan Bandar Lampung dan juga pembangkit listrik Tarahan. Tiba-tiba seorang bapak mendatangi saya dan menawarkan untuk menyewa perahunya sebesar Rp150.000 agar bisa mencapai tiga pulau di seberang sana. Harga yang di luar jangkauan saya. Awalnya saya mencoba untuk tidak tertarik, tetapi Bapak itu terus membuntuti saya. Dia menawarkan lagi biaya sebesar Rp120.000. Saya menolak, saya mencoba menawar dengan biaya Rp80.000. bapak itu sedikit dan mengiyakan tawaran saya. Jadilah saya menyeberang ke Pulau Condong (pulau yang terdekat) dengan perahu milik Bapak.

Saya sudah mempersiapkan membawa sendal dan plastik, jadi saya mengganti sepatu saya dengan sendal dan memasukkan benda-benda yang tidak boleh terkena air ke dalam plastik. Perahu mulai melaju ke tengah lautan. Di samping kiri dan kanan terlihat beberapa perahu lain yang nampaknya sedang digunakan pemiliknya untuk mencari ikan. Dari kejauhan tampak kesibukan di Teluk Lampung. Menoleh ke belakang terlihat jejeran bukit atau mungkin salah satunya adalah Gunung Rajabasa. Perahu bermotor ini terus melaju menyisiri sisi kanan dari Pulau Condong. Saya mencoba melongok ke arah air dan terlihat dasar laut yang jernih dengan ditumbuhi terumbu karang dan ikan-ikan yang ada di sekelilingnya. Memang kurang jelas terlihat, tapi airnya sangat jernih dan bersih. Mungkin bagi Anda yang hobi snorkeling bisa mencoba di sini nih, perairannya pun cukup tenang.

Pulau Condong

Kejernihan air di sekeliling Pulau Condong

Di kawasan ini terdapat tiga buah pulau, yang saya tahu namanya hanya Pulau Condong. Asumsi saya pulau ini dinamakan Pulau Condong karena bentuknya seperti setengah bola yang mencul ke atas permukaan laut agak condong ke arah utara. Dua pulau lainnya berada tidak jauh dari Pulau Condong dan bentuk dua pulau tersebut tak sama seperti Pulau Condong. Pak nelayan (sebut saja begitu) menepikan perahunya ke Pulau Condong ini. Saya turun dari perahu dan membayar terlebih dahulu tiket masuk sebesar Rp3.000 (per Juni 2010). Langsung saya eksplor pulau itu seorang diri. Pertama saya ke arah batu bolong yang tadi saya lihat dari atas perahu. Kemudian saya ke sisi yang lainnya. Ternyata ada sepasang perempuan yang sedang bermain air di sana. Tak terlalu memperhatikan mereka, saya terus mengeksplor saja pulau mungil ini.

Pulau Condong

Batu Bolong di Pulau Condong

Pasir pantai di Pulau Condong ini putih bersih banyak kerang berserakan di mana-mana. Di tengah pulau dapat ditemui rimbunan semak dan pepohonan. Dan saat itu di antara semak-semak saya melihat seekor monyet yang entah apa yang dia lakukan. Dari info yang saya dapat dari petugas di Pulau Condong ada sekitar 700-an kera di pulau ini. Mereka hidup di bukit pulau. Setelah asyik menikmati ketenangan, pemandangan, debur ombak, foto di sana sini, saya memutuskan kembali ke pantai ntuk segera balik ke hotel karena jam sudah mennunjukkan pukul 11 siang.

Sampai di daratan, saya mengganti pakaian, membayar biaya sewa perahu, dan kembali menunggu angkot biru. Sebuah pengalaman yang menyenangkan selama bermain di Pantai Pasir Putih Lampung ini. Suasananya tenang dan indah, masih dominan kealamiannya. Tak lama menunggu, akhirnya saya mendapatkan angkot biru dan segera balik ke hotel.

Pantai Pulau Condong

Dermaga di Pulau Condong

Wednesday 6 April 2011

Lampung: Sendiri dari Merak Hingga Rajabasa

Selesai mengarungi jalur panjang ular besi, perjalanan dilanjutkan dengan feri menuju pulau di seberang Jawa. Letak Stasiun Merak dan Pelabuhan Merak berdampingan, hanya dibatasi pagar tinggi saja. Turun dari kereta, saya mengikuti saja ke mana orang-orang berjalan karena asumsi saya mereka jauh lebih tahu kondisi di sini.

Saya tiba di loket Pelabuhan Merak, tertulis harga tiket per orang Rp10.000 (per Juni 2010) dengan feri biasa. Saya langsung membayar dan lagi, mengikuti ke mana saja orang-orang berjalan. Tak lama berjalan, terlihat sebuah kapal yang sedang sibuk menaikkan penumpang. Saya pun ke arah sana. Dan ikut berbaris rapi untuk masuk ke dalam kapal, walaupun sebenarnya tidak rapi.

Setelah masuk ke dalam, saya cukup bingung untuk duduk di mana. Ada yang menggelar tikar dan nampaknya mereka sudah saling kenal, ada yang duduk-duduk di dekat kantin. Ada yang berduaan. Sedikit linglung saya mau duduk di mana. Ingat dengan cerita di blog yang saya baca bahwa dengan membayar lebih, saya bisa masuk ke ruang yang disebutnya Ruang VIP. Saya pun turun dari bagian paling atas kapal ke tengah. Memang saya menemukan sebuah ruang tertutup yang dijaga seorang petugas. Ketika saya membuka pintu petugas mengatakan menolak saya untuk masuk, saya bertanya, “Nambah berapa (bayarnya), Pak?” Kemudian petugas itu mengizinkan saya masuk dan memberikan selembar tiket. Saya harus membayar lagi sebesar Rp5.000 untuk bisa duduk di ruang yang ber-AC dan ber-TV ini. Saya pikir tak masalah karena ada kursi-kursi yang jelas di sini dan bisa mengakomodir orang yang bepergian sendiri.

Saya memilih duduk di bagian tengah karena di bagian depan sudah penuh. Saya bertanya kepada ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya, “Ada orang yang duduk di sini, Bu?”, ibu tersebut menjawab tidak. Saya duduk di sampingnya. Kemudian saya meminta tolong menjaga tas saya dan saya berwudhu untuk salat Dzuhur di musala yang terletak di bagian belakang ruang ini. Selesai salat, saya kembali ke tempat duduk saya dan makan nasi bungkus yang saya bawa dari rumah.

Dari atas feri

Dari atas feri

Sekitar pukul 15.15 atau dua jam lebih di atas kapal, kapal tiba di Pelabuhan Bakauheni. Ketika menuju ke luar ruangan ber-AC ini, banyak orang yang menawarkan kendaraan mereka untuk mengantarkan menuju Bandar Lampung atau kota-kota besar di Sumatera lainnya, seperti Palembang, Padang, Medan. Saya bertanya mengenai biaya untuk ke Bandar Lampung, mereka menjawab Rp30.000 dan langsung berangkat. Karena saya sudah sedikit membaca bahwa dengan bus bisa mendapatkan harga lebih murah, saya menolak tawaran tersebut dan memilih naik bus.

Letak terminal Bakauheni bersebelahan dengan pelabuhan, saya menuju ke sana. Sudah banyak bus berjejer. Untuk menuju Bandar Lampung menggunakan bus tujuan Rajabasa, terminal di Bandar Lampung. Ada dua jenis bus yang ada, bus AC yang bertarif Rp22.000 dan bus non-AC dengan tarif Rp18.000. saya memilih menggunakan bus ber-AC karena perbedaan harga yang tidak begitu jauh dan saya sudah berjuang keras dari Jakarta Kota hingga di sini, jadi boleh lah sedikit menyamankan diri.

Pelabuhan Bakauheni menghadap Selat Sunda

Tak lama bus sudah penuh, bagian tengah bus pun penuh karena awak bus menempatkan kursi nonpermanen di tengah, jadi cukup sulit jika bergerak. Akhirnya bus jalan. Sebuah bangunan emas yang mencolok mata terpampang di depan. Coba saya ingat-ingat, itu adalah Menara Siger, simbol khas Lampung. Cukup tepat meletakkan monumen itu di dekat pelabuhan karena menunjukkan simbolnya. Bus semakin memacu kecepatannya menuju utara ke arah Kalianda.

Tampak Menara Siger di kejauhan

salah satu sudut Jalan Lintas Sumatera yang sedang diperbaiki

Tak lama berselang bus mulai menurunkan penumpang. Saya berasumsi bahwa bus sudah masuk kawasan Bandar Lampung. Saya cukup deg-degan karena saya tidak tahu harus turun di mana. Seorang pemuda di samping saya sudah turun. Dia lah yang sepanjang perjalanan menemani saya. Dia yang tidak menyebutkan namanya mengatakan bahwa perjalanannya masih panjang menuju Prabumulih di Sumatera Selatan dan dia datang dari Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Perjalanan yang jauh tentunya. Di otak saya, saya masih bingung dan tegang di mana saya akan turun.

Akhirnya di malam yang gelap pukul 20.00, bus tiba di Terminal Rajabasa yang terkenal dengan tindak kriminalnya. Saya agak takut mau mengarah ke mana. Saya coba menanyakan kepada seoarang wanita letak Jalan Radin Inten. Dia tidak tahu dan memanggil seorang tukang ojek untuk membantu saya. Saya mengatakan tujuan saya adalah stasiun dia mengatakan tahu dan setuju mengantarkan saya ke sana dengan biaya Rp20.000. Saya setuju saya. Setelah berjalan dengan motornya, ia menuju jalanan sepi dan gelap, ternyata ia mengantarkan saya ke stasiun kecil, bukan Stasiun Tanjung Karang yang menjadi tujuan saya. Kemudian saya mengatakan, “Bukan Bang, Ke Tanjung Karang di Radin Inten” dia menjawab, “Oh, saya pikir di sini, ok lima puluh ribu ya”. HAH! Lumayan kaget saya mendengar besara biayanya. Selama perjalanan saya mencoba untuk menawar dengan berbagai cara. Tetapi si tukang ojek ini selalu mengatakan, ”Sudah malam nih, De”.

Sekitar tiga puluh menit lebih berkendara dengan motor, si tukang ojek menurunkan saya di Jalan Radin Inten di sebuah hotel yang memang tujuan saya. Mau tak mau saya membayar uang sebesar yang ia minta. Saya mengucapkan terima kasih karena saya merasa aman dan aspain di tempat tujuan saya. Saya masuk ke Hotel Kurnia Dua . Saya Langsung memilih kamar termurah di hotel itu seharga Rp190.000 per malam, mahal sih, tetapi saya berpikir tak apa untuk kali pertama jalan sendirian dan di tempat asing ini. Saya masuk kamar dan langsung mandi karena sudah tidak karuan.

Lampung: Banten Ekspres yang Tak Terlupakan

Juni tahun lalu (2010) merupakan momen tak terlupakan bagi saya. Saya pergi ke Lampung selama tiga hari dua malam. Ini adalah pengalaman solo traveling pertama saya. Ditambah ini saat pertama saya ke Sumatera dan saat pertama naik feri. Mengapa Lampung? Karena saya pikir posisinya tak jauh dari Jakarta dan Lampung terletak di sisi barat Indonesia yang jarang saya jamahi. Selain itu ide jalan ke Lampung ini diinspirasi oleh tulisan di blog jejakbackpacker yang saya baca dua-tiga hari sebelumnya. Dan di suatu Senin yang cerah, saya memberanikan diri menuju Stasiun Jakarta Kota.

Saya merencanakan menggunakan kereta menuju Merak kemudian dilanjutkan dengan feri ke Bakauheni dan menuju Bandar Lampung dengan bus. Sebenarnya ada alternatif lain menggunakan bus menuju Merak atau bahkan langsung ke Bandar Lampung dengan Damri. Akan tetapi hitung-hitungan saya dan jiwa petualang saya memilih memanfaatkan jasa Kereta Banten Ekspres.

Saya berangkat sekitar pukul enam pagi dengan Transjakarta dari halte Pasar Cempaka Putih (Koridor II) hingga ke Halte Kota (Koridor III). Bus masih belum begitu sesak. Saya tiba di Stasiun Jakarta Kota yang unik ini sekitar pukul tujuh kurang lima belas menit. Langsung membeli tiket Banten Ekspres seharga Rp5.000 (per Juni 2010). Saya lihat di papan pengumuman, kereta akan berangkat pukul 07.10 dan tiba di Stasiun merak pukul 11.48. saya pikir cukup masuk akal lah dengan biaya yang saya keluarkan. Saya menunggu sekitar dua puluh menit. Suasana stasiun cukup nyaman dengan dekorasi khas wilayah Kota ini. Akhirnya kereta datang dengan kondisi kosong. Saya naik dan memilih tempat duduk di gerbong ketiga. Setelah beberapa menit menunggu, kereta berangkat dari stasiun sekitar jam setengah delapan.

Kereta Banten Ekspres

Sumber: raditzky.co.cc

Saya hanya duduk sepanjang perjalanan dan menonton lalu lalang para pedagang atau penumpang di depan saya. Kereta atau tepatnya kursi di gerbong yang saya duduki mulai penuh setela melintas Stasiun Duri. Dan semakin sesak di stasiun-stasiun berikutnya karena penumpang terus masuk dan tak ada penumpang yang turun. Akhirnya Banten Ekspres ini benar-benar full layaknya KRL Ekonomi Jakarta-Bogor. Entah pukul berapa kereta melintas ke luar dari Jakarta saya tidak begitu memperhatikan.

Kurang lebih pukul sepuluh kereta berhenti di sebuah stasiun kecil di tengah sawah. Tak tahu apa yang dilakukan kereta ini. Saya menoleh ke kanan ke kiri menemukan ada sepasang kambing ikut berhimpitan di dalam gerbang. Suara orang menjajakan permen, minuman, tahu, perabot rumah tangga, mainan, koran, daaaaaaaaan lain-lain tak henti-hentinya membisingi telinga saya. Saya juga coba memutarkan pandangan mencari jika ada sebuah toilet di kereta ini karena saya merasa butuh membuang air kecil. Saya menemukan sebuah ruang yang sangat tertutup di pojok jauh sana. Saya kurang yakin bahwa itu toilet karena para penumpang dengan santainya berada di sekitar situ. Akhirnya kereta terus melaju.

Banten Ekspres ini mulai aktif menurunkan dan memasukkan penumpang setelah berada di Serang. Ada yang sudah memiliki tiket, ada yang baru bayar di atas, tumplek nggak jelas di dalam kereta. Kembali setelah satu jam berhenti lama di stasiun yang saya tidak tahu namanya tadi, kereta berhenti lagi. Kini di stasiun yang cukup besar yang terlihat dari ciri-cirinya bahwa ini stasiun. Saya mulai berpikir apabila kereta berhenti sama lamanya ketika di stasiun tadi, saya akan turun dan mencari toilet yang ada di stasiun. Sayangnya ketika niat saya sudah timbul, kereta sudah berjalan. Ya sudah lah hajat ini masih tersimpan.

Di sebuah kondisi yang tidak bisa saya jelaskan, saya sudah merasa tidak bisa menahan lagi. Saya bertekad pasti akan turun di stasiun selanjutnya bagaimana pun kondisinya, berhenti lama atau tidak. Risiko yang saya hadapi teramat sangat besar, saya akan ditinggal kereta di tempat yang juga teramat sangat asing ini. Sepuluh menit berselang terlihat aroma stasiun. Saya berdiri dari tempat duduk saya, mendekati pintu kereta. Kereta belum benar-benar berhenti, saya memberanikan meloncat untuk segera ke toilet yang saya lihat di dekat pintu keluar stasiun, sudah tidak bisa saya tahan!!!!!

Jeng-jeng. Saya merasa sangat lega, tetapi jauh sangat deg-degan. Tak berani telinga mendengar suara khas kereta berangkat. Masih di toilet, suara yang tidak ingin saya dengar itu terdengar. Waduh! Langsung tanpa pikir panjang, cuci tangan , cuci yang lain, dan LARI! Saya berlari kencang menuju kereta dan terlihat beberapa sentimeter kereta sudah berpindah maju, saya melompat naik ke dalam gerbong terakhir. SELAMAT! Ini lah perasaan yang sangat lega selega-leganya. Dan mengapa judul posting saya ini adalah tak terlupakan karena memang cerita bersejarah ini tak secuil pun akan terkelupas dari memori saya.

Kereta terus berlanjut. Setelah sepanjang perjalanan sabelum saya turun, saya mendapat tempat duduk, tidak untuk kali ini. Sekarang saya berdiri di dekat pintu menatap hamparan sawah dan pohon-pohon yang hampir selalu ditemui sepanjang perjalanan. Arloji saya sudah menunjukkan pukul 12.45, tetapi tak terlihat kereta akan berhenti padahal sudah lebih dari satu jam dari jadwal.

Akhirnya saya dapat tempat duduk setelah ada sepasang muda-mudi turun di sebuah stasiun kecil dekat bukit. Saya menanyakan kepada seorang ibu yang sedang menyusui anaknya mengenai Stasiun Merak. Si ibu mengatakan masih ada dua stasiun lagi, saya mantuk-mantuk saja dan berharap segera tiba di lokasi. Sekitar pukul 13.30 kereta menurunkan kecepatannya dan beberapa orang mengatakan Merak-Merak. Sedikit senang bercampur banyak kecewa. Senang karena sudah tiba di stasiun tujuan terakhir dan kecewa karena kereta terlambat hingga dua jam. Jadi total Jakarta Kota menuju Merak adalah enam setengah jam. Terlebih lagi tak ada toilet di kereta!

Satu tantangan selesai, masih menunggu yang lainnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...