Friday 28 October 2011

Pangandaran: Lika-liku Angkutan Pedesaan Pangandaran-Cijulang


"Salah satu hal unik yang saya bawa pulang dari perjalanan di Pangandaran ini adalah angkutan pedesaannya (angdes)"

Setelah menyelesaikan malam di Pangandaran rencana kami kali ini adalah menuju Green Canyon untuk body rafting. Kami bangun cukup pagi, sekitar pukul 6, langsung salat, mandi, dan packing. Kami dijadwalkan harus sudah tiba di Green Canyon pukul 9 pagi dan rencana kami menuju Green Canyon adalah dengan angdes dari Terminal Wisata Pangandaran.

Pintu keluar Pangandaran

Pagi ini gerimis turun dan suasana pantai pun terasa dingin. Kami sarapan dulu bubur ayam di penginapan sebeah, lumayan menghangatkan. Setellah itu langsung menuju terminal dengan jalan kaki, padahal kami tidak tahu berapa jaraknya. Selesai berjalan menuju utara, tepat pukul 07.50 kami tiba di terminal dan langsung kami cari angdes berwarna kuning jurusan Pangandaran - Cijulang. Cijulang adalah terminal yang dekat dengan Green Canyon.

Kamu masuk ke angdes yang sudah bersiap untuk jalan. Di dalam masih kosong, jadi kami adalah penumpang pertama. Bang supir datang dan menyapa. Kami mengobrol sedikit, menanyakan ongkos menuju Cijulang yang kata bang supir Rp10.000. Lumayan ya, tapi cukup menghemat ongkos dibanding harus sewa atau naik ojek. Angdes berjalan tepat pukul 08.00. Tetapi tak jauh, angdes kembali berhenti di dekat pasar. Kata si abang sudah dijadwalkan kapan angdes harus jalan. Angdes bakal ngetem hingga pukul 08.10 di depan pasar ini.

Angdes cukup penuh dan pukul 08.10 kembali berjalan meninggalkan pasar. Pemandangan Perjalanan Pangandaran - Cijulang cukup bervariasi, mulai dari pohon-pohon, sungai, rumah-rumah, hingga lapangan luas. Daaaan tepat pukul 09.00 angdes tiba di Termina Cijulang, juga kata si abang supir emang udah dijadwalkan perjalanan rute ini memakan waktu 1 jam. Akhirnya tiba juga kami di Terminal Cijulang.

(berlanjut ke Pangandaran: Body Rafting di Green Canyon)

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Nah pulang kembali menuju Terminal Pangandaran, kami kembali naik angdes dari Terminal Cijulang. Kami naik ojek menuju terminal. Tiba di Terminal Cijulang, ada satu angdes di sana daaaaan ternyata pengemudinya sama dengan yang tadi, hahaha, unik sekali. Lagi-lagi kami menjadi penumpang pertama. Kata si abang ini adalah angdes terakhir menuju Pangandaran, beruntung kami tidak telat.

Tepat pukul 4 sore, angdes melaju menuju Pangandaran. Selama perjalanan, angdes berhenti di beberapa tempat untuk meaikkan penumpang. Si abang juga terus teriak-teriak angdes terakhir agar angdesnya penuh. Hingga di suatu kondisi angdes ini sudah penuh, semua tempat duduk sudah terisi, tetapi ada sekitar 10 anak sekolah yang memberhentikan, pikir saya pasti tidak ditolak sama si abang. Ternyataaaa, mereka naik dan duduk di atas, iya di atas angdes ini, waduh. Angdes jadi sangat penuh dan berjalan cukup lambat.

Perjalanan kembali diteruskan dan lagi-lagi diberhentikan oleh calon penumpang, si abang pun kembali memasukkannya, pokoknya dihimpit-himpit agar semua bisa masuk. Saya yang cukup lelah dan ngantuk jadi cukup waspada dan terbangun karena sumpek. Karena tidak ada kerjaan, saya menghitung total penumpang di angdes ini. Hitung punya hitung toal seluruh penumpang dan supir adalah 29 orang!!!!!! Formasinya gini: 3 orang duduk di depan, 12 orang duduk di angdes, 2 orang jongkok, 3 orang bergelantungan di beakang, dan 9 orang di atas, HEBAT YA!!!

Rute Cijulang (kiri) menuju Pangandaran

Angdes pun tiba di Terminal Pangandaran pukul 6 sore, lumayan alias capek perjalanan selama 2 jam dengan oksigen yang berebutan. Namun, inilah lika-liku angkutan pedesaan Pangandaran! Silakan dicoba :)

Pangandaran: Melepas Senja di Selatan Jawa

Selesai menunaikan Salat Jumat, makan mie ayam, dan istirahat, kami melanjutkan lagi refreshing kami. Kali ini tujuannya adalah ke Pantai Timur Pangandaran. Sekitar jam 4 kurang kami meninggalkan penginapan menyusuri Jalan Pramuka untuk mencapai Pantai Timur Pangandaran. Suasana sore hari di sini cukup sepi mungkin karena ini adalah hari Jumat jadi para pelancong belum datang.

Tak sampai 10 menit menuju ke timur, kami tiba di Pasar Ikan. Waduh lumayan pengen makan seafood juga apalagi ini kan langsung di pusatnya. Tapi dompet berkata lain, kami hanya melewati jejeran warung-warung di pasar ini dan menghampiri Pantai Timur. Angin kencang menyambut kami. Tidak ada pepohonan yang melindungi sehingga angin langsung menerpa apapun yang ada di sepanjang Pantai Timur ini.

Pantai Timur Pangandaran (di kejauhan terlihat Cagar Alam)

Kondisi Pantai Timur cukup berbeda jauh dengan Pantai Barat karena di Pantai Timur ini pantainya tidak untuk rekreasi dan cukup curam sepertinya. Juga Pantai Timur ini lebih gersang dan lebih sepi. Pantai Timur cocok untuk melihat sunrise. Tapi kami malah ke sini di sore hari, hahaha.

Aktivitas warga di Pantai Timur

Nelayan sedang melautkan perahunya

Karena tak ada yang dapat dilakukan, selanjutnya kami menuju ke arah barat lagi, ke Pasar Wisata Pangandaran di Jalan Bulak Laut. Intinya jalan-jalan sore kami ini untuk mengisi waktu hingga malam kemudian tidur, hehe. Sesampainya di Pasar Wisata yang lumayan ramai oleh pedagang, kami hanya melewatinya saja karena kami memang tidak tertarik, hehe. Kami hanya membeli es krim untuk dinikmat sepanjang jalan. Kemudian melanjutkan berjalan ke Pantai Barat, ceritanya untuk mengejar sunset.
Note: di Pangandaran cukup sulit menemukan ATM, setelah diberitahu seorang satpam, ada ATM BNI di salah satu hotel (Nyiur Indah kalau tidak salah), karena saya tidak memiliki rekening BNI, maka akan di-charge Rp5.000 setiap pengambilan. Jadi sediakan cash yang cukup jika berkunjung ke Pangandaran
Tiba di Pantai Barat, awan sangat tebal, bahkan dikejauhan terlihat hujan turun. Tetapi kondisi ini lebih ramai, ada rombongan yang sedang foto-foto, ada yang lari sore bersama anjing, ada sekeluarga dari Prancis sepertinya, cukup ramai lah Pantai Barat sini. Karena acara liat sunset batal, kami juga foto-foto saja merasakan pantai yang luas ini milik kami dan beberapa orang di sini, serta bermain pasir. Kami melepas senja tanpa melihat senja.


Pantai Barat Pangandaran yang luas

Pangandaran: Mengelilingi Cagar Alam Pananjung

Setibanya di terminal, kami langsung turun dan disambut tukang ojek dan tukang becak. Kami menolak dengan ramah dan melanjutkan berjalan menuju pintu masuk objek wisata Pangandaran. Kami membayar per orang Rp2.500 (per Juli 2011). Sebenarnya bisa saja Anda tidak membayar karena petugas tidak begitu peduli dengan pejalan kaki, tetapi karena kami ingin membantu melestarikan objek wisata ini, kami membayar. Namun, sayang sekali ketika kami meminta karcis masuk, petugas berkata habis. Sedikit kecewa karena kami sudah membayar dengan inisiatif kami tetapi petugas tidak mengapresiasi dengan baik.

Menyusuri Pantai Barat Pangandaran

Kami meneruskan berjalan menuju Pantai Barat. Bukan berarti kami tidak ingin melihat sunrise di Pantai Timur, tetapi kondisi saat itu mendung dan jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih, jadi percuma saja, haha. Pantai Barat Pangandaran pagi hari cukup sepi manusia, hanya terdengar debur ombak yang lumayan besar, ciri khas pantai di selatan Pulau Jawa.

Tujuan pertama kami adalah mencari penginapan untuk menyimpan tas yang membebani punggung ini. Kami menyusuri Pantai Barat ini hingga menuju Cagar Alam Pananjung (disebut juga Cagar Alam Pangandaran) di arah selatan. Angin berhembus cukup kencang, langit masih gelap, dan aktivitas nelayan terlihat di kejauhan. Di sepanjang bibir pantai, ditanggalkan perahu-perahu dengan namanya masing-masing. Kami berjalan menuju Jalan Pramuka dan Jalan Kalen Buaya yang kira-kira titik tengah antara terminal dan cagar alam.

Kemudian kami mulai mencari penginapan yang masuk budget kami, Rp50.000/orang/malam. Setelah bertanya ke beberapa tempat, kami memilih Hotel Mutiara (kalau tidak salah) di persimpangan Jalan Kalen Buaya dan Jalan Pramuka. Biayanya masuk budget kami dengan fasilitas dua tempat tidur, satu galon air mineral mini dengan dispenser air panas dan air dingin, kipas angin, dan televisi. Kami langsung membayarnya dan meletakkan tas. Tampaknya hanya kami yang menginap di situ, tapi ini bukan masalah.

Selesai meletakkan tas dan packing untuk menjelajah cagar alam, kami kembali menuju Pantai Barat untuk mencari sarapan\. Tak jauh dari pintu masuk cagar alam, kami makan di sebuah warung. Haris memilih bubur ayam, Ade dan saya memilih ketupat sayur. Sembari menunggu pesanan selesai dibuat, seorang Bapak menawarkan kami jasa perahunya untuk berkeliling cagar alam. Dia menjelaskan rutenya dan menunjukkan foto-foto di album yang ia bawa. Penawarannya terus berlanjut hingga sarapan kami datang. Si Bapak menawarkan Rp225.000 untuk kami bertiga termasuk perahu, jaket pelampung, peralatan snorkeling, tiket masuk cagar alam, dan guide.

Hm, tidak terlalu mahal dalam benak saya. Selesai makan, kami membayar dan permisi sebentar untuk saling berbicara apakah setuju dengan penawaran si Bapak atau tidak. Setelah ngomong-ngomong sebentar biaya sebesar itu tak mahal. Akhirnya kami setuju dengan penawaran si Bapak termasuk biaya Rp225.000/perahu. Jadilah rencana awal kami yang hanya menuju cagar alam menjadi mengelilinginya dengan perahu. Uyeah!

Satu kesalahan yang saya buat pada saat itu adalah saya mengenakan sepatu. Cukup meresahkan apabila basah karena satu-satunya yang saya bawa. So, ke depannya kenakanlah sandal. Selesai menyiapkan perahu, si Bapak nelayan sudah mendorong perahunya menuju air. Kami pun naik ke perahu, Haris duduk paing depan, disusul saya, Ade dan si Bapak. Perjalan menuju Samudera Hindia dimulai.

Perahu-perahu bersandar

Yang pertama dalam benak saya adalah ombak besar pagi hari dan langit yang gelap, agak mencekam. Dan memang ombak saat kami ke sana kata si Bapak lebih dari biasanya, sangat tinggi. Si Haris yang berada di depan melambung cukup tinggi setelah perahu berhasil melewati ombak. Hal inilah yang membuat kami pusing di awal-awal perjalanan. Ombak semakin membesar setelah kami melewati Pantai Pasir Putih, menuju lautan lepas. Luar biasa bahayanya. Walaupun ini kali kedua saya menyeberang dengan perahu kecil (yang pertama ketika menyeberang di Pulau Condong), tetapi kali ini ombak di pantai selatan ini tak main-main.

Bentang alam Cagar Alam Pangandaran dari arah selatan

Perahu lain yang mengelilingi cagar alam

Si Bapak melanjutkan mengarahkan mesin perahunya mengelilingi cagar alam. Terlihat beberapa perahu di sekitar karang, kata si Bapak, karang menjadi tempat favorit nelayan karena banyak ikan berkumpul. Di depan kami terlihat beberapa perahu nelayan menuju lautan lepas untuk mencari ikan. Perahu mulai mengarah ke timur mengikuti bentuk cagar alam ini. Nah di sisi selatan cagar alam tebing-tebing batu terlihat keras dan kokoh berbaur dengan kerimbunan pepohonan cagar alam.

Batu Layar

Si Bapak juga menjelaskan nama-nama tempat yang unik, misalkan Batu Candi, Batu Layar, atau Batu Mandi. Terdapat pula gua raksasa yang terlihat banyak kelelawar di dalamnya. Si Bapak menunjukkan pula Air Terjun Pananjung yang saat itu sedang kering. Katanya air terjun itu bisa dicapai dengan berjalan kaki menyusuri cagar alam selama 3-4 jam, hadeh, lumayan banget capenya.

Setengah jam setelah lepas landas dari Pantai Barat, kami sudah tiba di area Pantai Timur. Dari tempat kami berlayar, terlihat Nusa Kambangan nun juah di seberang. Untuk mencapai Nusa Kambangan bisa juga dengan feri khusus dan biaya yang juga "khusus". Akhirnya setelah elalui batu layar, kami tiba di Pantai Pasir Putih di sebelah timur cagar alam. Di sebelah sini kondisinya lebih sepi daripada pantai pasir putih di sebelah barat. Di pantai ini kami disambut puluhan monyet yang hidup bebas, haha, lucunya mereka. Tak lupa kami mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan.

Aktivitas nelayan di Pangandaran

Pantai Pasir Putih di timur Cagar Alam Pangandaran

Next, kami memasuki area Cagar Alam Pangandaran. Selain ada ratusan atau bahkan ribuan monyet, ada juga beberapa gua-gua. Kami masuk ke salah satu gua, tapi karena saya kurang tertarik ya sudah tak dapat bercerita panjang lebar.
note: Anda akan disewakan (bukan menyewa) senter dengan biaya Rp5.000/senter karena memang kondisi gua sangat gelap dan di akhir gua Anda akan dimintai sumbangan sukarela untuk kebersihan
Setelah selesai masuk, kami menuju Pantai Barat lagi untuk snorkeling. Sebelumnya kami mampir sebentar ke Goa Jepang, duh Jepang kok selalu bikin goa di tempat wisata ya? Tapi Goa Jepang yang di sini tidak terurus dan ditumbuhi semak-semak. Lanjut, snorkeling time!

Kami naik perahu lagi untuk menuju Pantai Pasir Putih di Pantai Barat untuk mengambil alat snorkeling-nya. Ga sabaran banget nih soalnya belum pernah (padahal udah 19 tahun hidup di negeri kepulauan ini #curcol). Setelah perahu diarahkan di tempat yang oke kata Si Bapak menerjunlah Haris terlebih dahulu baru saya dan Ade. Mencoba berlatih sendiri dahulu karena snorkeling butuh sedikit keahlian dan tak lama akhirnya saya bisa, hahahuhuhihi!

Pantai Pasir Putih bagian barat Cagar Alam Pangandaran

Snorkeling time! (for the first time)

Berenang ke sana kemari melihat keindahan bawah laut Pangandaran. Memang tidak seindah Bunaken atau Derawan atau Wakatobi, tapi sudah cukup buat saya melongok ke dasar laut ini. Dan karena ternyata saya merasakan nikmatnya snorkeling, mulailah berhasrat untuk ke pantai-pantai indah lainnya. Sekitar hampir satu jam mengarah ke segala arah, kami merapat ke pantai. Ada perasaan senang sekali karena ini merupakan pengalaman pertama snorkeling dan langsung di Samudera Hindia :)

Tiba di pantai barat, membayar dan segera ganti baju untuk SALAT JUMAAAAT!

++++++++

sebelumnya: Menyusuri Diagonal Jawa Barat dengan Bus Budiman
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...