Friday 28 October 2011

Pangandaran: Mengelilingi Cagar Alam Pananjung

Setibanya di terminal, kami langsung turun dan disambut tukang ojek dan tukang becak. Kami menolak dengan ramah dan melanjutkan berjalan menuju pintu masuk objek wisata Pangandaran. Kami membayar per orang Rp2.500 (per Juli 2011). Sebenarnya bisa saja Anda tidak membayar karena petugas tidak begitu peduli dengan pejalan kaki, tetapi karena kami ingin membantu melestarikan objek wisata ini, kami membayar. Namun, sayang sekali ketika kami meminta karcis masuk, petugas berkata habis. Sedikit kecewa karena kami sudah membayar dengan inisiatif kami tetapi petugas tidak mengapresiasi dengan baik.

Menyusuri Pantai Barat Pangandaran

Kami meneruskan berjalan menuju Pantai Barat. Bukan berarti kami tidak ingin melihat sunrise di Pantai Timur, tetapi kondisi saat itu mendung dan jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih, jadi percuma saja, haha. Pantai Barat Pangandaran pagi hari cukup sepi manusia, hanya terdengar debur ombak yang lumayan besar, ciri khas pantai di selatan Pulau Jawa.

Tujuan pertama kami adalah mencari penginapan untuk menyimpan tas yang membebani punggung ini. Kami menyusuri Pantai Barat ini hingga menuju Cagar Alam Pananjung (disebut juga Cagar Alam Pangandaran) di arah selatan. Angin berhembus cukup kencang, langit masih gelap, dan aktivitas nelayan terlihat di kejauhan. Di sepanjang bibir pantai, ditanggalkan perahu-perahu dengan namanya masing-masing. Kami berjalan menuju Jalan Pramuka dan Jalan Kalen Buaya yang kira-kira titik tengah antara terminal dan cagar alam.

Kemudian kami mulai mencari penginapan yang masuk budget kami, Rp50.000/orang/malam. Setelah bertanya ke beberapa tempat, kami memilih Hotel Mutiara (kalau tidak salah) di persimpangan Jalan Kalen Buaya dan Jalan Pramuka. Biayanya masuk budget kami dengan fasilitas dua tempat tidur, satu galon air mineral mini dengan dispenser air panas dan air dingin, kipas angin, dan televisi. Kami langsung membayarnya dan meletakkan tas. Tampaknya hanya kami yang menginap di situ, tapi ini bukan masalah.

Selesai meletakkan tas dan packing untuk menjelajah cagar alam, kami kembali menuju Pantai Barat untuk mencari sarapan\. Tak jauh dari pintu masuk cagar alam, kami makan di sebuah warung. Haris memilih bubur ayam, Ade dan saya memilih ketupat sayur. Sembari menunggu pesanan selesai dibuat, seorang Bapak menawarkan kami jasa perahunya untuk berkeliling cagar alam. Dia menjelaskan rutenya dan menunjukkan foto-foto di album yang ia bawa. Penawarannya terus berlanjut hingga sarapan kami datang. Si Bapak menawarkan Rp225.000 untuk kami bertiga termasuk perahu, jaket pelampung, peralatan snorkeling, tiket masuk cagar alam, dan guide.

Hm, tidak terlalu mahal dalam benak saya. Selesai makan, kami membayar dan permisi sebentar untuk saling berbicara apakah setuju dengan penawaran si Bapak atau tidak. Setelah ngomong-ngomong sebentar biaya sebesar itu tak mahal. Akhirnya kami setuju dengan penawaran si Bapak termasuk biaya Rp225.000/perahu. Jadilah rencana awal kami yang hanya menuju cagar alam menjadi mengelilinginya dengan perahu. Uyeah!

Satu kesalahan yang saya buat pada saat itu adalah saya mengenakan sepatu. Cukup meresahkan apabila basah karena satu-satunya yang saya bawa. So, ke depannya kenakanlah sandal. Selesai menyiapkan perahu, si Bapak nelayan sudah mendorong perahunya menuju air. Kami pun naik ke perahu, Haris duduk paing depan, disusul saya, Ade dan si Bapak. Perjalan menuju Samudera Hindia dimulai.

Perahu-perahu bersandar

Yang pertama dalam benak saya adalah ombak besar pagi hari dan langit yang gelap, agak mencekam. Dan memang ombak saat kami ke sana kata si Bapak lebih dari biasanya, sangat tinggi. Si Haris yang berada di depan melambung cukup tinggi setelah perahu berhasil melewati ombak. Hal inilah yang membuat kami pusing di awal-awal perjalanan. Ombak semakin membesar setelah kami melewati Pantai Pasir Putih, menuju lautan lepas. Luar biasa bahayanya. Walaupun ini kali kedua saya menyeberang dengan perahu kecil (yang pertama ketika menyeberang di Pulau Condong), tetapi kali ini ombak di pantai selatan ini tak main-main.

Bentang alam Cagar Alam Pangandaran dari arah selatan

Perahu lain yang mengelilingi cagar alam

Si Bapak melanjutkan mengarahkan mesin perahunya mengelilingi cagar alam. Terlihat beberapa perahu di sekitar karang, kata si Bapak, karang menjadi tempat favorit nelayan karena banyak ikan berkumpul. Di depan kami terlihat beberapa perahu nelayan menuju lautan lepas untuk mencari ikan. Perahu mulai mengarah ke timur mengikuti bentuk cagar alam ini. Nah di sisi selatan cagar alam tebing-tebing batu terlihat keras dan kokoh berbaur dengan kerimbunan pepohonan cagar alam.

Batu Layar

Si Bapak juga menjelaskan nama-nama tempat yang unik, misalkan Batu Candi, Batu Layar, atau Batu Mandi. Terdapat pula gua raksasa yang terlihat banyak kelelawar di dalamnya. Si Bapak menunjukkan pula Air Terjun Pananjung yang saat itu sedang kering. Katanya air terjun itu bisa dicapai dengan berjalan kaki menyusuri cagar alam selama 3-4 jam, hadeh, lumayan banget capenya.

Setengah jam setelah lepas landas dari Pantai Barat, kami sudah tiba di area Pantai Timur. Dari tempat kami berlayar, terlihat Nusa Kambangan nun juah di seberang. Untuk mencapai Nusa Kambangan bisa juga dengan feri khusus dan biaya yang juga "khusus". Akhirnya setelah elalui batu layar, kami tiba di Pantai Pasir Putih di sebelah timur cagar alam. Di sebelah sini kondisinya lebih sepi daripada pantai pasir putih di sebelah barat. Di pantai ini kami disambut puluhan monyet yang hidup bebas, haha, lucunya mereka. Tak lupa kami mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan.

Aktivitas nelayan di Pangandaran

Pantai Pasir Putih di timur Cagar Alam Pangandaran

Next, kami memasuki area Cagar Alam Pangandaran. Selain ada ratusan atau bahkan ribuan monyet, ada juga beberapa gua-gua. Kami masuk ke salah satu gua, tapi karena saya kurang tertarik ya sudah tak dapat bercerita panjang lebar.
note: Anda akan disewakan (bukan menyewa) senter dengan biaya Rp5.000/senter karena memang kondisi gua sangat gelap dan di akhir gua Anda akan dimintai sumbangan sukarela untuk kebersihan
Setelah selesai masuk, kami menuju Pantai Barat lagi untuk snorkeling. Sebelumnya kami mampir sebentar ke Goa Jepang, duh Jepang kok selalu bikin goa di tempat wisata ya? Tapi Goa Jepang yang di sini tidak terurus dan ditumbuhi semak-semak. Lanjut, snorkeling time!

Kami naik perahu lagi untuk menuju Pantai Pasir Putih di Pantai Barat untuk mengambil alat snorkeling-nya. Ga sabaran banget nih soalnya belum pernah (padahal udah 19 tahun hidup di negeri kepulauan ini #curcol). Setelah perahu diarahkan di tempat yang oke kata Si Bapak menerjunlah Haris terlebih dahulu baru saya dan Ade. Mencoba berlatih sendiri dahulu karena snorkeling butuh sedikit keahlian dan tak lama akhirnya saya bisa, hahahuhuhihi!

Pantai Pasir Putih bagian barat Cagar Alam Pangandaran

Snorkeling time! (for the first time)

Berenang ke sana kemari melihat keindahan bawah laut Pangandaran. Memang tidak seindah Bunaken atau Derawan atau Wakatobi, tapi sudah cukup buat saya melongok ke dasar laut ini. Dan karena ternyata saya merasakan nikmatnya snorkeling, mulailah berhasrat untuk ke pantai-pantai indah lainnya. Sekitar hampir satu jam mengarah ke segala arah, kami merapat ke pantai. Ada perasaan senang sekali karena ini merupakan pengalaman pertama snorkeling dan langsung di Samudera Hindia :)

Tiba di pantai barat, membayar dan segera ganti baju untuk SALAT JUMAAAAT!

++++++++

sebelumnya: Menyusuri Diagonal Jawa Barat dengan Bus Budiman

1 comment:

  1. Taman Prasejarah Leang-Leang dengan berbagai peninggalan warisan budaya dari masa pra sejarah, bahkan taman ini tercatat sebagai salah satu World Heritage yang ditetapkan UNESCO

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...