Thursday 26 May 2011

Bukittinggi: Bertemu Jam Gadang dan Ngarai Sianok

Kesan saya saat di dalam travel ini adalah saya tidak merasa berada di Indonesia. Tempat yang aneh, orang-orang yang asing, dan yang membuat saya lebih merasa tidak di negara sendiri adalah bahasa yang mereka pakai, sama sekali tidak ada yang saya ketahui, hehe. Ya sudahlah kami hanya mengobrol berdua saja memandangi sisi kanan dan kiri, pemandangan yang baru.

Perjalanan ke Bukittinggi ini awalnya cukup membosankan hingga akhirnya masuk ke Nagari Kayu Tanam. Pemandangan hijau di sisi kanan dan sisi kiri mulai ditemui, tampak segar. Klimaksnya adalah ketika berpapasan dengan Air Terjun Lembah Anai. Air terjun ini sungguh indah, terletak tepat di sisi jalan raya. Kendaraan sempat tersendat karena banyak mobil pengunjung di Lembah Anai ini. Benar-benar indah kawasan ini. Ditambah lagi sungai jernih di sisi kanan dan jalur kereta api yang melintang di atas jalan raya, sungguh eksotis. Sayang, kami hanya bisa memandangnya saja dan tak sempat mengambil gambar. Tak lama, akhirnya kami masuk Kota Padang Panjang. Awalnya apabila pesawat tidak delay kami ingin mampir dulu ke PDIKM (Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau) di Kota Padang Panjang, tetapi delay telah mengubah rencana, kami lanjutkan saja langsung ke Bukittinggi.

Perjalanan ke Bukittinggi cukup menanjak. Di sisi kiri samar-samar terlihat rel kereta. Ya, itu memang rel sebenarnya, tapi sudah tidak digunakan lagi. Padahal apabila masih bisa difungsikan akan sangat indah perjalanan Padang Panjang – Bukittinggi ini dengan kereta api. Sekitar hampir tiga jam berada di travel, akhirnya kami tiba di Kota Bukittinggi. Travel berhenti di persimpangan jalan dekat Terminal Aur Kuning. Kami turun di situ dan akan melanjutkan dengan angkot. Kondisi saat itu hujan deras, sedikit kecewa harus kehujanan di sini, tempat yang asing sekali. Angkot akhirnya datang, kami dan seorang bapak yang juga naik travel naik ke angkot.

Tak sampai sepuluh menit, kami turun di sebuah pertigaan dan membayar Rp2.000 per orang. Bukan kami asal turun, kami turun karena diberitahu bapak yang se-travel tadi, makasih ya pak. Hujan masih belum juga berhenti, tetapi kami lanjutkan saja perjalanan kami menuju sebuah menara, apalagi kalo bukan Jam Gadang yang tersohor itu. Uhuy, akhirnya kesampaian juga bermain-main dan berfoto-foto di seputar Jam Gadang ini.

Jam Gadang

Kemudian kami mencoba untuk mencari penginapan. Ini lah hal yang sama sekali kami tidak ada persiapan, informasi yang ada di internet sangat minim, kalau ada pun itu yang mahal. Kami mencoba saja berjalan sepanjang Jalan Ahmad Yani dan A. Karim. Hotel pertama kami tanya, ternyata sudah full, begitu pula hotel kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sudah sedikit frustasi, kami menuju hotel keenam, Hotel Sari. Kami masuk dan ternyata masih ada kamar dan itu pun kamar terbesar dan termahal, Family Room, rate-nya Rp385.000. hampir dua kali lipat budget kami. Kami mencoba berpikir sejenak, apakah mau mencari lagi atau tidak. Di tengah rintik hujan, kelelahan, dan kelaparan, kami memutuskan untuk menginap di Hotel Sari ini saja.

Hotel Sari
Hotel ini letaknya sungguh sangat strategis, jarak dengan Jam Gadang tak lebih dari 5 menit jalan kaki. Di samping hotel ada rumah makan, warnet, dan angkot lewat di depan hotel. Yang kami sayangkan adalah kondisi kamar hotel yang tua dan kurang bersih. Kami menginap di kamar termahal (bukan berarti banyak duit, ini terpaksa), tempat tidur dan kamar mandinya kurang bersih. Breakfast yang kami dapat adalah setengah cangkir teh panas dan setengah potong roti bakar yang keras. Selain itu juga pelayanannya, resepsionisnya merangkap tukang masak, cleaning service, dan lain-lain dan hanya ada dua orang. Jika Anda memiliki waktu dan dana lebih fleksibel, ada baiknya mencari hotel lain.
Masuk ke kamar, langsung merebahkan diri ke kasur, sungguh lelah perjalanan menuju Bukittinggi ini. Belum apa-apa sudah remuk ini badan punya. Tapi di hati ini merasa sangat rugi apabila membuang waktu tidur-tiduran dan perut memaksa untuk diisi. Sekitar pukul 4 sore kami pergi keluar ke arah Jam Gadang lagi kami mau mencari makan dulu. Cukup bingung mau makan apa, kami memutuskan ke sebuah rumah makan cepat saji yang terkenal. Kami memesan nasi dan ayam dalam cup. Daaan ternyata harganya di sini lebih murah Rp5.000 dari harga di Jakarta, uhuy.

Selesai makan, tujuan kami berikutnya adalah Ngarai Sianok. Berbekal ingatanku atas peta Kota Bukittinggi, kami berjalan ke Jalan Panorama atau juga disebut Jalan Perwira. Di situlah letak Taman Panorama, lokasi paling bagus untuk menikmati pemandangan indah Ngarai Sianok. Di seberang Taman Panorama ini ada Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma. Hanya sepuluh menit dari landmark Kota Bukittinggi, sampai juga di Taman Panorama ini. Membayar tiket masuk Rp4.000 saja, kami masuk. Udara sungguh segar dan sejuk ditambah tetesan gerimis. Ada sekitar belasan orang di taman ini. Kami masuk dan menuju ke sebuah lokasi yang cukup ramai, langsung saja kami ke sana.

Ngarai Sianok

Berjalan perlahan menapaki jalanan licin, kami disuguhkan tebing-tebing hijau yang indah. Ini lah Ngarai Sianok yang harum namanya. Alhamdulilah saya bisa sampai di sini dan melihat langsung keindahan alam ini. Memang Ngarai Sianok ini sungguh indah dan luar biasa. Ditambah udara sejuk setelah hujan. Di belakangnya ada Gunung Marapi dan Gunung Singgalang, tetapi sayang keduanya tertutup kabut. Kami pun berfoto ria di sini.

Ngarai Sianok

Selesai menghirup udara dalam-dalam dan memandangi dengan saksama Ngarai Sianok, kami menuju arah sebaliknya, ke Lobang Jepang yang juga jadi ciri khas Kota Bukittinggi ini. Lokasinya agak turun ke bawah. Untuk masuk ke dalam perlu mambayar tiket masuk Rp6.000 ditambah tip untuk pemandunya. Kami tidak turun ke lubang karena kondisinya hujan dan licin. Tak apalah kami tidak turun supaya ada alasan mengapa kami harus ke Bukittinggi lagi, hehe. Kemudian kami berputar-putar di area Taman Panorama ini. Selesai menjepret sana-sini, kami memutuskan kembali ke hotel sekitar pukul enam. Lokasi wisata ini tutup pukul enam petang.

Museum Tri Daya Eka Dharma dan Lubang Jepang

Kembali ke hotel, langsung saja saya mengistirahatkan tubuh. Kaki terasa sangat lelah. Rencana kami adalah istirahat sebentar dan kemudian nanti malam keluar lagi untuk mencari makan. Sayang seribu sayang gemerlap Jam Gadang dan Kota Bukittinggi di malam hari tak bisa kami nikmati, kami tertidur pulas hingga matahari pagi kembali menyelimuti kami.

2 comments:

  1. Awal Sept nanti saya akan ke BUkit Tinggi
    Terima kasih share nya ya :)

    ReplyDelete
  2. selamat jalan-jalan, terima kasih sudah berkunjung ke blog ini :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...