Saturday 28 June 2014

Enam Belas Jam di Banda Aceh

Masjid Baiturrahman Banda Aceh

Deretan mobil mengular panjang setelah melewati papan perbatasan. Klakson-klakson bis bersahutan di tengah situasi padat merayap. Sudah satu jam lebih bus AKAP yang saya naiki tak bergerak maju. Niat hati ke luar dari rutinitas kemacetan ibukota, malah kondisi sebaliknya yang saya dapatkan. Sirine mobil polisi semakin menambah riuh suasana. Headset tua yang saya gunakan tak mempan untuk menangkis suara-suara tersebut. Tiga puluh menit setelah mobil polisi tadi lewat, bus AKAP saya mulai bergerak, perlahan. Meter demi meter dilewati hingga akhirnya diketahuilah sumber kemacetan yang terjadi, sebuah truk besar bermuatan penuh terguling di tengah jalan. Truk itu mengangkut ratusan kilogram buah atap atau yang lebih dikenal dengan kolang-kaling. Total dua setengah jam harus ditempuh untuk melewati kemacetan ini. Mungkin inilah cara Medan untuk mengingatkan saya: "Ini Medan, Bung!"
Bus AKAP yang saya tumpangi kemudian melaju kencang ke utara, menuju provinsi paling barat di republik ini, Aceh! Setelah bersantai di Danau Toba, perjalanan saya berlanjut ke Banda Aceh. Awalnya saya enggan ke sini karena waktu yang terbatas. Namun, dua teman saya meyakinkan saya untuk mnyempatkan mampir ke Aceh. Setelah menimbang-nimbang, sepertinya kesempatan ini tak salah jika dicoba. Nekatlah kami menuju Banda Aceh dengan bus. "Dari sini ke Banda kalo siang bisa dua belas jam, kalau malam lebih cepat," begitulah jawaban pak supir ketika saya tanya durasi perjalanan.

Kemacetan di perbatasan Medan-Binjai membuat perjalanan ini menjadi sangat panjang. Kami berangkat pukul 9 pagi dan tiba di Terminal Batoh Banda Aceh pukul 12 tengah malam! Total lima belas jam kami duduk manis di dalam bus. Turun dari bus, kami segera mencari taksi untuk menuju penginapan di daerah Rex Peunayong. Setibanya di kamar, tanpa babibu, kami langsung ke luar mencari tempat makan. Beruntung daerah Rex Peunayong ini memang salah satu sentra kuliner di Banda Aceh. Pilihan kami jatuh di sebuah kedai sederhana yang menjual mie aceh, tak lengkap ke Banda Aceh jika tak mencoba mie aceh, pikir kami pendek.

Sembari makan, kami menyusun itinerary selama di Banda Aceh. Dari kalkulasi yang kami lakukan, hanya terdapat enam belas jam, termasuk waktu tidur, untuk berkeliling Banda Aceh. Sorenya, kami harus ke Medan lagi karena penerbangan kami kembali ke Jakarta akan berangkat dari Medan. Wah, ini sebuah ujian yang baik untuk membuktikan kemampuan time management kami. Seusai menyantap semangkuk mie aceh, kami tak lantas kembali ke penginapan. Tujuan kami dini hari itu adalah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Hanya dua puluh menit jalan kaki untuk sampai ke masjid cantik ini. Masjid Baiturrahman memang memesona. Masjid ini sungguh megah dengan taburan lampu yang menyinari tembok putihnya. Masjid ini bagaikan mahkota Banda Aceh dengan lima kubah besarnya. Suasana sunyi senyap mengingatkan saya atas kebesaran Sang Pencipta. Pikiran saya pun terbang kembali ke tahun 2004 lalu saat tsunami besar melanda kota ini. Masjid Baiturrahman adalah salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh. Kami saling bergantian mengambil foto, mengabadikan keindahan masjid ini, hingga seorang satpam penjaga menghampiri kami memberi tahu bahwa gerbang akan ditutup. Ini berarti perjalanan dini hari kami harus berakhir. Kami kembali ke penginapan untuk tidur sejenak sebelum menjelajah kota ini seharian.

Esok paginya, ritual yang selalu saya lakukan adalah jalan kaki pagi di sekitar penginapan. Pagi itu saya jalan santai sepanjang Krueng Raya, salah satu sungai terbesar di Banda Aceh. Sungai ini terletak di belakang penginapan saya. Usai memanjakan diri dengan udara segar, saya kembali ke kamar dan mendapati kedua teman saya sudah siap sedia untuk menjelajah Banda Aceh. Tak perlu berlama-lama kami langsung menuju rumah makan kecil yang menjual lontong aceh untuk mengisi tenaga kami.

Museum Tsunami Aceh
Destinasi pertama kali adalah Museum Tsunami. Letaknya tak jauh dari Masjid Baiturrahman. Dari kejauhan bangunan museum ini sudah dapat diterka. Arsitekturnya unik dan terlihat sangat rapi. Nampaknya, pagi itu kami menjadi pengunjung pertama. Untuk masuk museum ini kami tak perlu mengeluarkan biaya, sahabat mahasiswa banget. Museum ini dibangun pada 2009 dan diarsiteki Ridwan Kamil yang saat ini menjadi Walikota Bandung. Pertama-tama pengunjung akan disambut di "Lorong Tsunami", ruangan yang menggambarkan kondisi saat tsunami datang, sungguh dalam makna ruangan ini jika direnungi. Area selanjutnya banyak menampilkan foto, maket, diorama, dan benda peninggalan yang berkaitan dengan tsunami dahsyat di Samudera Hindia. Satu pelajaran berharga yang saya dapat di museum ini adalah untuk selalu dekat dengan Tuhan, Sang Pencipta alam semesta.

Kherkof

Usai berkeliling museum, kami singgah sejenak di Kherkof, areal makam Belanda yang letaknya tepat di samping museum. Areal ini juga terkena dampak tsunami, sekitar lima puluh tanda makam hilang. Di areal ini terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda yang dibunuh oleh ayahnya sendiri karena melakukan tindak kriminal. Areal pekuburan ini juga disebut dengan Kuburan Peutjut, sesuai nama putra sultan tersebut.

Gunongan
Destinasi berikutnya adalah sebuah objek arsitektur unik berwarna putih bersih di seberang Kherkof, yakni Gunongan. Gunongan merupakan simbol cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisuri Putri Phang (Putroe Phang) yang berasal dari Negeri Pahang, Malaysia. Gunongan ini dibangun dengan maksud untuk mengobati rasa rindu sang putri terhadap kampung halamannya. Bentuk Gunongan menyerupai gunung kecil atau bukit, seperti yang banyak terdapat di Negeri Pahang sana. Setelah dibangunnya Gunongan ini, sang putri merasa sangat senang dan banyak menghabiskan waktu di sini. Saat ini Gunongan merupakan salah satu situs yang diusulkan Pemerintah Indonesia untuk menjadi warisan dunia. Lingkungan di sekitar Gunongan cukup tertata dan terawat dengan taman hijau yang mengelilinginya. Sungguh serius nampaknya Pemerintah Banda Aceh dalam melestarikan salah satu peninggalan sejarah dengan nilai yang luhur ini.

Selesai berkunjung ke Gunongan, jam tangan saya sudah menunjukkan lima belas menit lepas dari jam dua belas. Matahari semakin bersinar dengan terik tepat di atas kepala. Untuk menuju Rumoh Aceh yang merupakan destinasi berikutnya, kami memilih menggunakan bentor (becak motor) yang mudah ditemui di sini. Dengan sedikit kelihaian saya, kami patungan tak lebih dari Rp5.000,00 per orang dari Gunongan ke Rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan bagian dari Museum Aceh.

Ade, rekan perjalanan saya yang sangat hobi sejarah, mengatakan bahwa Rumoh Aceh ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Bangunan tersebut pernah ditampilkan di Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang di awal tahun 1900-an. Bayangkan, pada zaman dulu bagaimana cara mengangkut bangunan ini dari Semarang menuju Banda Aceh. Dan Ade mengatakan bahwa selama ini hanya ada dua kali penyelenggaraan Pameran Kolonial di dunia. Betapa tingginya nilai sejarah Rumoh Aceh ini. Di dalam Rumoh Aceh ditampilkan beragam benda-benda peninggalan sejarah dan kebudayaan Aceh. Terdapat pula peralatan rumah tangga dan alat permainan anak tradisional.


Rumoh Aceh

Usai mengulik interior Rumoh Aceh, termasuk mengobrol singkat dengan ibu penjaganya, kemudian kami masuk ke Museum Aceh. Tak lama kami berada di museum ini. Namun, ilmu yang kami dapat sungguh banyak, termasuk sejarah tentang Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Masjid kebanggaan rakyat Aceh ini ternyata awalnya hanya memiliki satu kubah, kemudian menjadi tiga kubah di tahun 1936, dan sejak tahun 1957 memiliki lima kubah besar. Membaca-baca informasi di Rumoh Aceh dan Museum Aceh ternyata cukup memakan waktu. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Saatnya kami bersiap kembali ke penginapan dengan bentor lagi tentunya. Rencana kami sebelum menuju terminal, kami ingin menyempatkan salat di Masjid Baiturrahman.

Adzan Ashar selesai berkumandang, saya sudah berdiri tegak di baris ketiga. Sang imam sudah memberi aba-aba salat dimulai, suasana masjid menjadi hening, saatnya untuk berkomunikasi dengan Allah. Nampaknya nikmat menunaikan ibadah di salah satu bangunan paling sakral ini memang berbeda. Terdapat suasana semangat rakyat Aceh yang mampu bertahan dalam menghadapi konflik antargolongan dan musibah tsunami dan gempa dahsyat. Di luar, Ade dan Riyan sudah terlebih dahulu duduk di bentor. Kemudian saya menyegerakan berjalan menuju bentor tersebut. "Brummm!" Bentor sudah mulai berjalan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 15.30. Waktu enam belas jam berlangsung cepat, sangat cepat. Tak cukup menjelajah seluruh bagian di ibukota provinsi paling Barat negeri ini. Akan tetapi waktu yang singkat tersebut tak menghentikan semangat kami untuk menimba ilmu di sini. Sapaan Pak Husnan, sang pengemudi bentor, membuyarkan hal-hal dalam pikiran saya, beliau kamudian mengajak saya yang duduk di jok belakang untuk mendiskusikan berbagai hal tentang Aceh dan kebudayaannya yang tak tertulis di papan informasi di museum. Bye bye Aceh!

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...